Flaws of characters a main focus? It's complicated
4.0
Karena pernah baca buku detektif Keigo Higashino sebelumnya, aku menemukan kesamaan, beliau ini suka nulis cerita di mana pelakunya diungkap di awal, jadi sisanya kita sebagai pembaca cukup nikmatin jejak-jejak perbuatan si karakter (yang dituduh sebagai tersangka), dan lagi-lagi ada plot twist di dalamnya. Sepanjang baca, emosi aku dibikin naik turun. Ada di tahap aku bingung harus kasihan, marah, sedih, atau nggak peduli sama kejahatan tersangka, karena adanya sebab-akibat juga, sedari awal aku seolah diarahkan untuk membenci satu karakter itu (DAMN AKU TERTIPU). Intinya selama baca buku ini aku banyak-banyak istighfar deh kayak CAPEEEKKK BANGETTTTT YA ALLAH but it's okay. π
Untuk gaya penulisan dan terjemahannya pun mudah banget untuk dinikmati dan dicerna oleh otakku, enjoy 100% selama baca (paling sesak napas aja dikit). Mancing mania. ππ»
Yeay!!! Akhirnya bisa menyelesaikan novel yang udah bertahun-tahun aku tumpuk, walaupun sebenarnya aku udah pernah baca di wattpad, sih. Tapi tetap baca lagi, karena pasti ada detail yang berbeda dan aku udah lupa. π€§π€π»
Cerita super duper ringan yang di mana kita tinggal baca aja, gak perlu mikirin apa-apa, karena konfliknya pure cinta remaja semasa SMA. Tipe pacaran anak sekolahan yang masih dibilang normal alias gak melewati batas sama sekali. Itungannya masih hubungan sehat, dibalut watak karakternya yang emang apa adanya, dan cenderung kekanak-kanakan meski latarnya mereka udah kelas 12. Ya tapi balik lagi, buku ini rilis sekitaran 2016-2018? (Mohon koreksi kalo aku salah) jadi aku merasa gak ada masalah untuk itu.
Chara development untuk masing-masing characternya pun cukup bagus. Lavina yang biasanya dimanjakan oleh orang-orang di sekitarnya, semenjak pacaran sama Arsenio, dia jadi paham gak semua hal harus berjalan sesuai kemauannya. Meskipun menjelang akhir cerita, ada momen di mana dia masih aja hobi bikin kesimpulan sendiri. Begitupula untuk karakter Arsenio, jadi lebih terbuka semenjak kenal Lavina.
Penulisan kak Ainun pun cukup simple dan nyaman dibaca, entah itu dari dialog maupun narasinya yang to the point, tapi masih bisa bikin imajinasi terus berjalan menggambarkan suasana yang dimaksudkan. Selain itu, ada pula hal yang kurang aku sreg adalah cinta segitiga yang mainstream, lewat wataknya Erlan, belum apa-apa aku udah tau banget nasibnya dia mau kemana. Tipe second lead baik hati dan lebih effort daripada ML.
Meskipun tema yang diangkat berat, tapi penyampaiannya mudah banget untuk dinikmati. Seakan terlihat sederhana, apalagi tiap halamannya gak memuat banyak narasi, tapi dialog antar karakternya punya makna yang dalam. Segala macam bentuk bimbang, menyesal, putus asa juga pertanyaan yang ada di kepala Shira dan Joshua, berhasil bikin aku ikut masuk ke perasaan tersebut.
Aku jadi bayangin hubungan Shira dan Joshua ini ibarat kita (gak sih, bisa jadi aku aja), yang baru aja kenal sama orang-orang di internet. Belum pernah ketemu atau mungkin ada yang udah ketemu di rl satu/dua kali, tapi seakan-akan lewat koneksi yang pada dasarnya gak direncanakan itu, bikin kita justru lebih mudah terbuka dan saling mengerti satu sama lain. Padahal sama orang-orang di rl, buat jujur aja susah banget. Entah kenapa, orang asing lebih cepat menangkap perasaan yang ingin kita sampaikan dibandingkan teman atau orang-orang terdekat kita sendiri. Hal ini juga jadi bikin aku mikir (lagi) selama ini, bukan kita yang berlebihan untuk minta divalidasi, tapi emang dari awal perasaan itu gak pernah sampai kepada mereka si orang-orang terdekat. Dan bisa jadi lagi, kita pun ada di pihak yang gak bisa menangkap perasaan itu, yang pada akhirnya kita cuma saling menyalahkan satu sama lain.
Aku sempet kepo juga sebenarnya untuk bagian ending apakah ada yang bisa menjelaskan lebih pasti, karena meskipun terlihat "happy end" rasanya masih ada aja yang mengganjal, dan ternyata benar. Aku lihat review penulisnya sendiri dan ending yang aku pikir "happy" itu wujudnya cuma ada di kepala Joshua, pun kondisi dia lagi gak baik-baik aja.
Untuk gaya penulisannya sendiri, aku oke-oke aja untuk penggunaan orang ke-satu dan bahasa non-baku, tapi di sini (terutama POV Shira) ada beberapa ketidak-konsistenan, kadang-kadang gue, tiba-tiba berubah jadi aku. But overall ceritanya bagus, memuat visualisasi soal lokasi juga, jadi kita gak perlu repot-repot search sendiri. π«Άπ»
Plus yang menambah kesan gloomy untuk cerita ini adalah visualisasinya yang B&W, seolah-olah menggambarkan memori tentang Tokyo yang muram lewat sudut pandang Joshua (opini pribadi).
ππππππππππππ Udah lama semenjak aku nangis karena baca buku, ini genre angst-nya kuat banget, ya Allah. Ditulis lewat sudut pandang orang ke-satu, tiap perasaan tokohnya ditulis dengan detail. Kehilangan, jatuh cinta, juga emosi yang meluap sebab lamanya ditahan, gak bikin aku berhenti menghela napas.
Terutama sudut pandang kedua orangtua-nya Divas. Bagaimana gambaran seorang bapak dalam menyikapi keadaan keluarga dan gimana sakitnya seorang Ibu saking sayangnya sama sang anak. π€§ππ»
Buku ini lagi-lagi menegaskan tentang kesedihan juga bagian dari dalam diri kamu. Bawa dia, jangan abaikan keberadaannya, hadapi, lalu sembuhlah perlahan. Divas kamu keren, nahan semuanya selama 10 tahun.
"Karena keluarga itu bukan cuma seperti setangkai bunga, Deverra. Kita adalah serangkai bunga yang tumbuh bersamaβtidak ada yang tumbuh lebih cepat dari yang satu. Kita tumbuh dan mati bersama, sekalipun arah tumbuh dan waktu mati kita berbeda."
Cerita singkat tapi unik. Sebetulnya untuk konflik gampang banget ditemuin di sekitar, karena tema yang diangkat emang marak banget di kalangan masyakat (dan sepertinya akan terus begitu).
Tentang Keiko yang sudah berumur 36 tahun, 18 tahun menjadi pekerjasambilan di minimarket, dan belum menikah. Buku ini menggunakan sudut pandang orang ke-satu, jadi lebih mudah untuk masuk ke dalam karakter Keiko ini. Cuma ada beberapa pola pikirnya yang kadang aku gak mengerti, yaitu kenapa dia bisa bersikap setenang itu dalam menghadapi Shiraha, karakter paling gak tau malu dan gak jelas, apa karena merasa sama-sama makhluk "abnormal" jadi harus menjaga solidaritas? Mbak Keiko, Shiraha ini jauh berbeda sama kamu. Dia justru adalah parasit yang sesungguhnya. ππ
Menampung Shiraha & membiarkan pria itu melakukan hal sesuka hatinya, itu gak masuk akal buatku. Katakanlah, tindakannya yang begitu membuat dia seakan berhasil menjadi bagian dari masyarakat, tapi bagian mananya Shiraha menguntungkanmu? Teman-temannya pun gak membantu sama sekali.
Tapi aku suka banget penggambaran kecintaan Keiko terhadap pekerjaannya. Pada akhirnya menjadi "normal" itu adalah ketika Keiko tahu untuk siapa dia menjadi salah satu dari sekian banyak bagian. Di tahap ini, tubuhnya memang sudah menjadi milik minimarket & dia cukup dengan itu.
Flaws of characters a main focus? It's complicated
4.0
Alurnya pusinggggg baru kelihatan titik terangnya pas baca bab terakhir. π₯² Tapi endingnya kurang puas, kurang greget sama endingnya Rayhan. Harusnya lebih menderita lagi HOHOHOHOH (((ketawa jahat))). Tingkat kecerdasan Mala di sini bukan cuma tentang pengetahuan ya, tapi skill manipulasi dan kamuflasenya juga serem banget walaupun tujuan dan dampaknya (masih) baik.
Melihat kondisi ayah dan ibunya yang gak memungkinkan untuk memahami suatu "situasi" membuat dia menahan, bergerak, dan menyimpan semuanya sendirian. Keluarga yang malang.
Gaya penulisan dengan sudut pandang orang ke-satu, aku gak masalah. Cuma lagi-lagi ada aja yang campur aduk, misal dalam satu kalimat ada yang pakai lo-gue terus tiba-tiba berubah jadi aku-kamu. Agak gak nyaman, tapi untungnya aku masih bisa mengikuti. Mancing mania. ππ»
Kasih bintang lima karena aku suka buku yang bikin aku merasa bego.
CHAN HO-KEI CERDAS GILA aku salah banget mikir cerita ini plotnya lebih kalem daripada Second Sister, eh gataunya bab terakhir GOKIL.
Buku ini terdiri dari 6 bab yang punya kisah berbeda, tapi dilakoni oleh karakter yang sama. Selain memuat informasi mengenai sepak terjang karir si MC di kepolisian, juga menceritakan sejarah Hong Kong di tiap masanya. Btw kalo kalian berpikir ini tentang MC OP, kalian SALAH BESAR.
To be honest, aku kurang puas sama endingnya (SORRY)BUT WOW karena polanya jadi gitu ya... hm aku paham sekarang. Cara beliau mainin pikiran pembacanya ngingetin aku waktu lagi baca pembunuhan di rumah miring. Kuncinya satu: YAKIN. Jangan mudah terdistraksi.
Betul kata Elang, jawabannya lebih dekat daripada yg kita kira. Gaya penulisan narasi puitis, namun dialognya dengan bahasa sehari-hari menyesuaikan latar, aku suka banget!
Buku pertama Chan Ho-Kei yang aku baca. Aku belum cari info lebih soal beliau, tapi satu hal yang pasti RESEARCHNYA GILA-GILAAN. Mulai dari teknologi, bisnis, apa aja yang lagi trend di kalangan anak remaja, bagaimana menyelaraskan antara pikiran dengan lingkungan si karakter tumbuh atau tinggal, belum lagi isu-isu yang diangkat adalah isu yang banyak dibicarakan di masyarakat sekarang, bikin suasananya jadi lebih hidup. Seru bisa baca buku detektif, tapi bukan diambil dari sudut pandang polisi.
Untuk detail, nggak usah ditanya. Eksekusinya keren dan ada beberapa scene yang sebenernya bukan dibuat untuk bikin ketawa TAPI AKU KETAWA. Ketawanya pun ngetawain diri sendiri sih karena merasa bego aja soalnya karakternya se-nggak bisa ditebak itu. Kocak lu Szeto Wai, lu gw tandain. π«΅πΌ
Untuk plotnya sendiri, kita gak bisa fokus ke satu rentetan kejadian aja karena bener kata Nga-Yee. Kayak bawang, di tiap kita berhasil kupas satu lapisan, ada lapisan lain yang gak bisa diabaikan. Character developmentnya juga suka!!! Nga-Yee yang berhasil menguasai diri dan N yang mulai peduli sama sudut pandang lain. Cara N membalaskan dendam juga bikin SATISFIED HOHOHO dan buat Kwok-Tai & Lily, dah sekolah yang bener gak usah macem-macem lu berdua.
Btw kekurangan dari buku ini paling ada beberapa typo aja sih, jadi rada hah dikit, tapi sisanya mancing mania.
Buku self-improvement pertama yang aku baca di tahun ini, setelah tiga tahun lamanya. Sama seperti buku self-improvement pada umumnya, isinya menyangkut hal-hal tentang diri sendiri, relasi dengan manusia lain ataupun dengan diri sendiri, dan sisanya kembali (lagi-lagi) pada diri sendiri, apakah kita siap berubah atau dirasa bahwa isi buku tersebut ternyata gak cukup relate dengan keadaan sekarang.
Seperti judulnya, buku ini berlandaskan pada filosofi teras; filosofi di mana hidup harus selaras dengan Alam, yang artinya kita harus selalu menggunakan nalar. Cukup banyak kutipan-kutipan dari para filsuf yang memotivasi (sudah pasti) dan adapula yang seakan memberikan kesan 'menampar', karena gak semua permasalahan yang ada di hidup kita disebabkan oleh pihak luar.
Buku ini juga punya cara menegaskan argumen dengan interview bersama para ahli yang membantu memperjelas apa-apa saja yang sempat dibingungkan (jika memang ada), pada bacaan(halaman) sebelumnya. Meskipun satu buku ini jelas berisi banyak hal yang penting, aku pribadi masih belum di tahap memvalidasi keseluruhannya. Aku pada akhirnya mengingat dan berusaha menerapkan apa-apa saja yang dirasa memang cocok bagi aku, dan cukup meninggalkan contoh-contoh yang menurutku, aku punya cara lain untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. But overall buku ini bagus, dan energi positif yang ingin dibagikan kepada pembaca mampu tersalurkan dengan baik.