veraveruchka's reviews
410 reviews

Marionette by Morgan Martin

Go to review page

1.0

Buku ini berisi kumpulan cerpen (saya keberatan dengan penyebutan 'novel' karena setiap cerita tidak benar-benar berhubungan). Masing-masing cerpen terhubung oleh latar yang berkisah sekitar Nestor High School, sebuah sekolah swasta (elit?) yang terletak di sebuah kota kecil di Amerika Serikat dan tokoh-tokoh yang berhubungan dengannya. Satu lagi benang merah dari setiap cerita adalah keberadaan tokoh Marionette Minezko pada tiap cerita.

Untuk penggemar manga atau fanfiction berbasis gothic shoujo manga, mungkin cerita-cerita ini akan sangat menarik. Namun karena saya bukan keduanya, saat membaca buku ini yang saya pikirkan adalah 'what?'

Sepertinya penulis mencoba bermain tuhan-tuhanan dalam novel ini. Banyak hal yang janggal buat saya. Misalnya novel ini berlatar sebuah kota kecil di Amerika Serikat yang 'terlalu kecil untuk nampak di peta' tapi banyak sekali orang keturunan Jepang di sini. Paling tidak seharusnya ada alasan, kenapa kota itu dihuni begitu banyak keturunan Jepang (selain penulis adalah penggemar Jepang, tentunya). Bahkan tokoh Marionette Minezko, yang harusnya berperan sentral dalam cerita, malah jadi terkesan 'numpang nampang'. Saya rasa maksudnya agar terasa tokoh Marionette ini misterius, tapi yang saya rasa malah tokoh ini tidak tergali karakternya, sampai pada taraf 'kalau nggak ada tokoh ini, kayaknya nggak apa-apa juga deh'.

Akan jauh lebih baik kalau novel ini dibuat jadi manga.
Definitely not my cup of tea.
Mockingjay by Suzanne Collins

Go to review page

4.0

Fidgeting between 4 or 5 stars. I think I enjoyed it less than its two predecessor, so I settle with 4.

Mockingjay, puncak dari trilogi Hunger Games. Hampir segala yang dikenali Katniss hancur atau berubah hingga Katniss sulit mengenalinya. Peeta ditahan di Capitol. Pemberontakan pecah. Most of teenager her age will curl in fetal position and weep for their miserable destiny, but not Katniss, our dear heroine and the girl on fire. Instead, she choose to be a Mockingjay, a symbol of rebellion and revolution, whose importance is "cannot be overstated".

Tetap menegangkan dan membuat emosi bergejolak. Kadang kesel sama Katniss yang (berusaha) terlalu stoic, kadang pengen jitak Gale yang ga ada manis-manisnya, kadang pengen nangisin Peeta yang malang dan so selfless it's sometimes annoying. Banyak lagi emosi yang nggak boleh dijabarin penyebab-penyebabnya karena itu berarti spoiler besar-besaran dan saya update dari handphone sehingga ngga bisa menurunkan tirai spoiler sekarang. Hahaha.

Buat saya, buku ini sungguh...apa ya, bikin ngenes mungkin. Karena ini puncak trilogi dan kita tentu perlu tanda bahwa konflik yang terjadi di sini lebih serius daripada buku-buku sebelumnya. Kalau di buku sebelumnya Katniss cuma main api, di sini dia bakar-bakaran. Konsekuensinya, banyak sekali korban tewas di buku ini (and if you have read 'Catching Fire', you will know how many people died in that book...and in 'Mockingjay' the number multiplied. Go figure). Jumlah korban mungkin hanya statistik (and it's thankfully just a fiction, so we don't have to mourn for thousands of lives that never touch ours), tapi dalam buku ini Collins juga membunuh banyak karakter yang...penting menurut saya. Characters we grow to love. Memang sih, Collins udah bersalah banget bikin mati tokoh yang bikin kita simpati di buku-buku sebelumnya (Rue, anyone?), tapi di buku ini beda. Kalau di Hunger Games dan Catching Fire, pilihannya antara mereka yang mati atau Katniss, and we don't want our heroine to appear as a ghost or flashback for the rest of series, do we? Tapi di sini beda. Katniss sendiri bilang pada halaman 275, "Lagipula ini tidak seperti Hunger Games. Banyak orang yang akan selamat." Oh, so little did you know, Catnip. Sedikit serem juga bayangin Collins ngelamun mikirin berbagai cara untuk bunuh orang karena...some character's death are so gruesome, I hope they will censored it in the movie. My heary won't take it easily.

Memang sih, jauh lebih terasa klimaktik dibanding kalau di puncak cerita nggak terjadi konfrontasi berarti (I'M LOOKING AT YOU, STEPHENIE MEYER). Tapi...ah. Pasti nyesek kalau baca. Kalau boleh, ini bisa dibandingin sama nonton Titanic dan berharap Jack nggak mati setiap kalinya. Ya kali kan, dari pas filmnya keluar taun 1997 juga udah tau bakalan mati,masak iya tiba-tiba ada alternate ending. Tapi tetep aja nggak bisa nahan untuk berharap, dan rasanya patah hati tiap kali nonton Jack mati. Itu juga yang saya rasain di buku ini.

Yah, buku ini bukan diniatkan untuk bikin kita nyaman pas baca juga sih kayaknya. Saya merasa dystopia itu diciptakan untuk bikin kita mikir, bahwa sistem dan realita yang berjalan sekarang mungkin aja bergerak seperti itu. Dalam kasus seri Hunger Games, mungkin lebay banget ya, kayaknya nggak bakal juga sampai terjadi beneran segitunya. Tapi saya jadi mikir bahwa beberapa aspek dari kehidupan masa kini ditangkap dengan baik dan dimodifikasi menjadi sangat...mengerikan. Peran media yang begitu kuat, bisa memanipulasi opini dan emosi orang-orang yang menontonnya. Sikap altruisme yang makin menipis di masyarakat, yang membuat kita kurang peduli terhadap sesama kita yang menderita, karena...well, it's not my life. Bahkan kita merasa nyaman-nyaman aja nonton itu di televisi dan nggak melakukan apa-apa, malah cuek aja melanjutkan hidup kita dan sibuk sama masalah-masalah dangkal kita. Banyak banget yang bisa diambil dan dipikirkan...dan itu benar-benar nilai plus yang bikin saya angkat topi, lempar ke udara, terus salto bolak-balik.

Berhubung saya baca versi bahasa Indonesia, terjemahannya bagus. Dibandingin versi bahasa Inggris, saya lebih nyaman baca versi ini. Terutama karena otak saya yang random selalu menerjemahkan 'pods' menjadi 'kacang polong' dan sukses bikin jebakan Capitol jadi kedengaran konyol. Ada beberapa bagian yang agak canggung --bukannya saya bisa terjemahin lebih bagus sih. Nggak masalah juga, karena tiap baca buku terjemahan, otak saya otomatis terjemahin balik ke bahasa Inggris, hehe.

Let me end this review with the most memorable line in The Hunger Games:

"May the odds be ever in your favor!"

Ps. please, please read it in a Capitol accent.
The Hunger Games by Suzanne Collins

Go to review page

5.0

Sebelum baca untuk yang ke-udah-ngga-paham-berapa-kalinya:
Lagi pengen nostalgia banget banget mungkin ya, pengen baca Hunger Games lagi. Padahal udah tahu...scratch that, udah hafal ceritanya, tapi setiap kali baca tetap aja rame. The power of dystopia, I think. Makes you wonder what if the world really turn out like that and what if it's you who face the circumstances. What would you do? Would you even survive for a day? Beberapa orang muter mata dan nyuruh saya baca 1984 dari Orwell, "itu baru dystopia," katanya. Ya, suatu saat saya bakal baca, tapi sekarang saya cukup puas baca ulang trilogi Hunger Games dan takjub sama ceritanya dan mungkin sedikit fangirling terhadap Peeta Mellark.

Setelah baca untuk yang ke-udah-ngga-paham-berapa-kalinya:
THE BOOK IS AWESOME...but maybe you have seen that coming, hehe.

Saya bisa ngomong berjam-jam tentang buku ini dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Terlepas dari tiba-tiba teringat eceng gondok saat baca nama Katniss, saya benar-benar suka buku ini. Ketegangan pada saat-saat yang tepat, menahan untuk tetap duduk dan terus membaca sampai selesai (atau sampai terpaksa banget harus bangkit dan mengerjakan sesuatu yang lain, dalam kasus saya, hahaha). Kita benar-benar bisa merasakan simpati sama hampir semua tokoh (kecuali Presiden Snow ya, kasih sayang saya udah nggak ada yang tersisa buat dikasihin ke dia, huek).

Bisa ditebak, ini bukan kali terakhir saya baca buku ini, hehehe.
Ring by Kōji Suzuki

Go to review page

4.0

Hanya ada satu kata-tiga huruf yang melintas di pikiran saya ketika membaca buku ini. WOW.

Saya tidak perlu berpanjang-panjang menjelaskan alur cerita karena cerita novel ini telah banyak dikenal orang. Ya, ini novel Ring yang itu, yang telah terjual 2,8 juta kopi dan terus bertambah, yang telah difilmkan di Jepang dan diadaptasi oleh Hollywood, yang telah membuat adegan Sadako merangkak keluar dari TV menjadi mindset kita setiap mendengar 'film horor jepang', Ya, ini novel Ring yang itu.

Saya belum pernah menonton satu pun filmnya, jadi saya tidak bisa membandingkan dengan film, tapi buku ini benar-benar membuat saya kagum. Memang bukan jenis buku yang akan membuat Anda merinding dan berkali-kali mengecek ke belakang punggung Anda untuk memastikan tidak ada apa-apa ketika membacanya, tapi tetap, jangan dibaca malam-malam di tempat angker, apalagi jika jantung Anda lemah.

Yang saya kagumi dari buku ini (dan terjemahannya) adalah bagaimana Koji Suzuki, sang penulis, menjabarkan perasaan Asakawa (tokoh utama) ketika dia berpacu melawan waktu untuk menyelamatkan diri dan keluarganya. Perasan Asakawa dituturkan dengan kalimat-kalimat pendek namun efektif. Berhasil membuat pembaca meresapi keputusasaan sekaligus tekad Asakawa, membuat Asakawa menjadi tokoh yang manusiawi, namun tetap unik sebagai pribadi. Menarik, karena dalam genre ini (thriller) sangat penting untuk membuat pembaca bertanya-tanya, "seandainya saya yang jadi dia, apa yang akan saya lakukan?". Keterhubungan ini tentu akan sulit dirasakan apabila tokoh-tokohnya dilukiskan mirip superhero yang segala bisa.

Saya merekomendasikan ketegangan yang manusiawi ini kepada setiap pecinta thriller-horror, terutama yang terobsesi dengan film horor Asia.
Drunken Marmut: Ikatan Perkumpulan Cerita Teladan by Pidi Baiq

Go to review page

4.0

Saya membaca buku ini dalam rangka iseng. Biasalah, Dira, adik saya, sedang hobi sekali menyetel lagu The Panasdalam, bikin penasaran dengan karya dari sosok yang mengaku Imam Besar The Panasdalam Serikat ini : Pidi Baiq.

Dulu zaman SMA pernah membaca Drunken Monster, buku pertama dari seri Drunken ini. Karena gaya penulisannya yang sengaja menafikan kaidah, sempat merasa agak malas dan skeptis dalam membaca kelanjutannya.

Namun ternyata (untungnya) buku ini sudah lebih rapi daripada pendahulu pertamanya, tanpa meninggalkan gaya penulisan Pidi Baiq yang hobi melonjak ke sana ke mari. Bikin gemes dan geli sama pemikiran dan polah Surayah yang satu ini. Dari mulai kata pengantar sampai lampiran (macam proposal acara, hahaha) kocak semua. Jadi terpikir untuk mencari kembali seri-seri antara Drunken Monster dan Drunken Marmut. Saya bahkan baru follow twitter Pidi Baiq nih, setelah baca buku ini (ya terus kenapa, hahaha).

Saya biasanya ngga suka-suka amat baca buku humor tapi buku ini sukses bikin saya ketawa dalam dosis yang tepat. Lucu yang sederhana, tanpa perlu merendahkan diri penulisnya--suatu jenis humor yang tengah marak dan menjenuhkan akhir-akhir ini.

Buku yang asyik untuk dibaca sambil menunggu. Menunggu waktu makan siang. Menunggu giliran dipanggil dokter gigi. Menunggu jodoh. Terserahlah. Hahaha.

Bagian favorit :
1. Binatang Tipu. Interaksi Pidi Baiq dan istrinya adorably sweet sekali.
2. PSP The Panasdalam. Kocak, diselipi nilai-nilai idealisme yang khas mahasiswa. Dulu dan sekarang tidak jauh beda, meski kami tak sampai bikin republik segala. Nice!
Cinta (Tidak Harus) Mati by Henry Manampiring

Go to review page

1.0

Seriously, why did I read this. Mungkin ini gara-gara cover yang lucu itu. Catchy. Juga mungkin karena buku ini geletakan di rak buku adik saya, sungguh menggoda.

Bagian pemaparan hasil survey...nggak tahu ini maksudnya apa. Beberapa lucu tapi kebanyakan tidak mengubah ekspresi datar saya. Bagian pemikiran random di belakang sedikit lebih mending...tapi entah kenapa saya menyelesaikan buku ini dengan kepala yang sedikit pusing. Good for you who can extract meaning from them, but I just can't.

Setelah saya membaca buku ini, saya merasa sangat beruntung karena bukan saya yang keluarin uang untuk membelinya. Setelah ini, saya nggak akan sembarangan lagi mencomot buku nganggur di rak buku adik saya.

Overall, maybe I would feel better if I read this so called reflection --no matter how nonsensical they are-- in their blog form, but in a book form? Not so much. Mungkin karena ketika saya membaca buku, saya mengharapkan ikatan makna, sesuatu yang bisa bikin saya mikir walau dilapis canda tawa. Kalau di blog, kadang saya cuma cari ketawanya doang, dan beberap bagian refleksi ini cukup bisa menyajikannya, walau...ya itu tadi. Banyak yang krik buat saya.

Saya akan berpikir berkali-kali kalau mau membaca buku karya selebtwit. Saya janji, Tuhan, saya janji.