A review by veraveruchka
Mockingjay by Suzanne Collins

4.0

Fidgeting between 4 or 5 stars. I think I enjoyed it less than its two predecessor, so I settle with 4.

Mockingjay, puncak dari trilogi Hunger Games. Hampir segala yang dikenali Katniss hancur atau berubah hingga Katniss sulit mengenalinya. Peeta ditahan di Capitol. Pemberontakan pecah. Most of teenager her age will curl in fetal position and weep for their miserable destiny, but not Katniss, our dear heroine and the girl on fire. Instead, she choose to be a Mockingjay, a symbol of rebellion and revolution, whose importance is "cannot be overstated".

Tetap menegangkan dan membuat emosi bergejolak. Kadang kesel sama Katniss yang (berusaha) terlalu stoic, kadang pengen jitak Gale yang ga ada manis-manisnya, kadang pengen nangisin Peeta yang malang dan so selfless it's sometimes annoying. Banyak lagi emosi yang nggak boleh dijabarin penyebab-penyebabnya karena itu berarti spoiler besar-besaran dan saya update dari handphone sehingga ngga bisa menurunkan tirai spoiler sekarang. Hahaha.

Buat saya, buku ini sungguh...apa ya, bikin ngenes mungkin. Karena ini puncak trilogi dan kita tentu perlu tanda bahwa konflik yang terjadi di sini lebih serius daripada buku-buku sebelumnya. Kalau di buku sebelumnya Katniss cuma main api, di sini dia bakar-bakaran. Konsekuensinya, banyak sekali korban tewas di buku ini (and if you have read 'Catching Fire', you will know how many people died in that book...and in 'Mockingjay' the number multiplied. Go figure). Jumlah korban mungkin hanya statistik (and it's thankfully just a fiction, so we don't have to mourn for thousands of lives that never touch ours), tapi dalam buku ini Collins juga membunuh banyak karakter yang...penting menurut saya. Characters we grow to love. Memang sih, Collins udah bersalah banget bikin mati tokoh yang bikin kita simpati di buku-buku sebelumnya (Rue, anyone?), tapi di buku ini beda. Kalau di Hunger Games dan Catching Fire, pilihannya antara mereka yang mati atau Katniss, and we don't want our heroine to appear as a ghost or flashback for the rest of series, do we? Tapi di sini beda. Katniss sendiri bilang pada halaman 275, "Lagipula ini tidak seperti Hunger Games. Banyak orang yang akan selamat." Oh, so little did you know, Catnip. Sedikit serem juga bayangin Collins ngelamun mikirin berbagai cara untuk bunuh orang karena...some character's death are so gruesome, I hope they will censored it in the movie. My heary won't take it easily.

Memang sih, jauh lebih terasa klimaktik dibanding kalau di puncak cerita nggak terjadi konfrontasi berarti (I'M LOOKING AT YOU, STEPHENIE MEYER). Tapi...ah. Pasti nyesek kalau baca. Kalau boleh, ini bisa dibandingin sama nonton Titanic dan berharap Jack nggak mati setiap kalinya. Ya kali kan, dari pas filmnya keluar taun 1997 juga udah tau bakalan mati,masak iya tiba-tiba ada alternate ending. Tapi tetep aja nggak bisa nahan untuk berharap, dan rasanya patah hati tiap kali nonton Jack mati. Itu juga yang saya rasain di buku ini.

Yah, buku ini bukan diniatkan untuk bikin kita nyaman pas baca juga sih kayaknya. Saya merasa dystopia itu diciptakan untuk bikin kita mikir, bahwa sistem dan realita yang berjalan sekarang mungkin aja bergerak seperti itu. Dalam kasus seri Hunger Games, mungkin lebay banget ya, kayaknya nggak bakal juga sampai terjadi beneran segitunya. Tapi saya jadi mikir bahwa beberapa aspek dari kehidupan masa kini ditangkap dengan baik dan dimodifikasi menjadi sangat...mengerikan. Peran media yang begitu kuat, bisa memanipulasi opini dan emosi orang-orang yang menontonnya. Sikap altruisme yang makin menipis di masyarakat, yang membuat kita kurang peduli terhadap sesama kita yang menderita, karena...well, it's not my life. Bahkan kita merasa nyaman-nyaman aja nonton itu di televisi dan nggak melakukan apa-apa, malah cuek aja melanjutkan hidup kita dan sibuk sama masalah-masalah dangkal kita. Banyak banget yang bisa diambil dan dipikirkan...dan itu benar-benar nilai plus yang bikin saya angkat topi, lempar ke udara, terus salto bolak-balik.

Berhubung saya baca versi bahasa Indonesia, terjemahannya bagus. Dibandingin versi bahasa Inggris, saya lebih nyaman baca versi ini. Terutama karena otak saya yang random selalu menerjemahkan 'pods' menjadi 'kacang polong' dan sukses bikin jebakan Capitol jadi kedengaran konyol. Ada beberapa bagian yang agak canggung --bukannya saya bisa terjemahin lebih bagus sih. Nggak masalah juga, karena tiap baca buku terjemahan, otak saya otomatis terjemahin balik ke bahasa Inggris, hehe.

Let me end this review with the most memorable line in The Hunger Games:

"May the odds be ever in your favor!"

Ps. please, please read it in a Capitol accent.