Scan barcode
A review by renpuspita
Dari Toko Buku ke Toko Buku by Muthia Esfand
adventurous
informative
inspiring
lighthearted
reflective
medium-paced
5.0
Sebelum gue mulai ngoceh, eh ngereview, cuma mau bilang walau gue kenal personal dengan penulisnya dan sering main ke toko bukunya di area Depok (karena deket juga sama rumah gue, hehe) plus juga kenal editornya karena sering berbalas pantun di WAG, bintang lima ini murni dari hati terdalam gue tanpa harus merasa ga enak sama keduanya wkwkwk. Gue emang suka baca buku - buku traveling walau mungkin hanya baca bukunya Trinity yang setelah gue baca bukunya Mba Muthia ini, terasa banget ngepop gayanya Trinity. Berasa makan snack, enak buat camilan, light, tapi ya udah gitu aja. Baca buku ini gue merasakan main course yang beragam karena gue diajak jalan - jalan ke toko buku di belahan Eropa, walau lebih banyak fokusnya ke daerah Eropa Timur, Inggris dan Jerman (plus beberapa negara lain).
Ga cuma bahas toko buku, walau judulnya ada "toko buku", Dari Toko Buku ke Toko Buku atau disingkat DTBkTB ini lebih terasa seperti catatan yang sangat personal. Ditulis dari sudut pandang Mba Muthia yang memang sudah makan asam garam dunia penerbitan dan toko buku di Indonesia, jadi gue merasakan keintiman yang berbeda jika dibandingkan buku Trinity. Gue mungkin ga fair ngebandingin keduanya, mengingat gue juga ga banyak baca buku2 catatan perjalanan orang. Tapi gue bisa bilang, baca buku ini emang seperti membaca catatan harian seseorang tapi juga seakan diajak ikut berdiskusi. Ga semua pendapat Mba Muthia di buku ini gue setuju kok, wkwkw, tapi disitulah daya tariknya.
Gue bahkan bisa melihat sedikit perbedaan gaya tulis dari beberapa bab, karena ada bab yang ditulis tahun 2017 dan tahun 2020. Mungkin hanya perasaan gue, di 2017 terasa seperti campuran perasaan yang lelah, kadang sinis, kadang menggebu - gebu, dan kadang sendu. Sementara di 2020 gue merasa kayaknya udah lebih kalem, hehe. Gue saat baca buku ini emang seperti bayangin Mba Muthia bercerita ke gue langsung dengan gayanya yang khas. BAHKAN, gue kadang ngerasa ini kayaknya ada pengaruhnya Onie deh (si editor), karena kok kayak berasa baca Onie ngomong ya XD. Jadi, bisa dibilang sungguh pengalaman membaca yang intim. Membuat gue juga agak enggan baca cepat - cepat karena ingin menikmati cerita di dalamnya, tapi juga penasaran untuk membalik halamannya satu persatu.
Untungnya, gue dulu pesan yang format Hardcover, jadi foto - foto di dalamnya berwarna! Asyik sekali bisa melihat foto dalam buku, karena walau gue hanya duduk terdiam di kursi saat baca buku ini, gue juga seakan dibawa melanglang buana menyusuri beberapa toko buku, bahkan ada foto yang berisi pemilik toko bukunya! Karena Mba Muthia emang fans fantasy, thriller, buku bertema perempuan dan juga puisi, maka toko bukunya beberapa yang didatangi ya yang ada buku - buku tersebut, walau gue juga kadang mikir "judul - judul romance apa yang laku di negara itu ya? Apa seleranya sama kayak pembaca Amrik atau malah sebaliknya?". Hal yang membuat gue terhenyak, karena kayak sesuatu yang rasanya masih JAUH di masa depan untuk memimpikan sebuah toko buku yang tematik karena toko buku di Indonesia masih mayoritas dari jaringan toko besar. Indonesia bahkan kalah dari Faroe untuk masalah biaya distribusi buku. Bagian tentang Rumania mengingatkan gue saat Mba Muthia cerita kalau dia pernah ke kastil Bran abis baca The Historia, buku tebal yang bikin gue ngantuk itu (wk!). Bagian tentang Dresden cukup lucu, karena gue jadi inget bahasan kami dulu soal buku - buku Karl May. Bagian Frankfurt dan Leipzig sangat informatif dan full of insight untuk kamu yang mungkin penasaran sama gimana proses di balik industri buku. Bagian dari negara lain tentunya juga menarik dan ga mungkin gue bahas semua juga kan, nanti malah jadi ga seru.
Kekurangan buku ini mungkin di typo yang bejibun, dan kebetulan punya gue ini beberapa halamannya kebalik :'). Masalah kebaliknya sih, ya udah lah gue terima aja. Ini masih mending kebalik daripada halamannya hilang kan. Selain itu, beberapa gaya penceritaan Mba Muthia masih bisa diterima karena gue sendiri aslinya juga nyindiran, tapi bisa jadi yang lain ga bisa nerima, hahaha. Jadi ya kembali ke preferensi kamu juga, karena beberapa hal bisa banget buat jadi diskusi lebih menyeluruh.
Baca DTBkTB sedikit banyak mengingatkan gue sama salah satu mimpi anak- anak BBI dulu mau bikin buku tentang Literatourism, gabungan literasi dan jalan - jalan. Sayangnya impian itu akhirnya kandas, layu sebelum berkembang. Tapi gue seneng karena Mba Muthia justru memilih menuliskannya dan menerbitkan dalam buku. Membagi pengalaman, insightnya yang sangat banyak dan mungkin rasa resah hatinya terkait industri buku atau malah hal yang lebih personal, kepada orang asing aka calon pembacanya itu sungguh keberanian yang luar biasa.
Ditunggu buku jilid dua DTBkTBnya ya! ^_^
Ga cuma bahas toko buku, walau judulnya ada "toko buku", Dari Toko Buku ke Toko Buku atau disingkat DTBkTB ini lebih terasa seperti catatan yang sangat personal. Ditulis dari sudut pandang Mba Muthia yang memang sudah makan asam garam dunia penerbitan dan toko buku di Indonesia, jadi gue merasakan keintiman yang berbeda jika dibandingkan buku Trinity. Gue mungkin ga fair ngebandingin keduanya, mengingat gue juga ga banyak baca buku2 catatan perjalanan orang. Tapi gue bisa bilang, baca buku ini emang seperti membaca catatan harian seseorang tapi juga seakan diajak ikut berdiskusi. Ga semua pendapat Mba Muthia di buku ini gue setuju kok, wkwkw, tapi disitulah daya tariknya.
Gue bahkan bisa melihat sedikit perbedaan gaya tulis dari beberapa bab, karena ada bab yang ditulis tahun 2017 dan tahun 2020. Mungkin hanya perasaan gue, di 2017 terasa seperti campuran perasaan yang lelah, kadang sinis, kadang menggebu - gebu, dan kadang sendu. Sementara di 2020 gue merasa kayaknya udah lebih kalem, hehe. Gue saat baca buku ini emang seperti bayangin Mba Muthia bercerita ke gue langsung dengan gayanya yang khas. BAHKAN, gue kadang ngerasa ini kayaknya ada pengaruhnya Onie deh (si editor), karena kok kayak berasa baca Onie ngomong ya XD. Jadi, bisa dibilang sungguh pengalaman membaca yang intim. Membuat gue juga agak enggan baca cepat - cepat karena ingin menikmati cerita di dalamnya, tapi juga penasaran untuk membalik halamannya satu persatu.
Untungnya, gue dulu pesan yang format Hardcover, jadi foto - foto di dalamnya berwarna! Asyik sekali bisa melihat foto dalam buku, karena walau gue hanya duduk terdiam di kursi saat baca buku ini, gue juga seakan dibawa melanglang buana menyusuri beberapa toko buku, bahkan ada foto yang berisi pemilik toko bukunya! Karena Mba Muthia emang fans fantasy, thriller, buku bertema perempuan dan juga puisi, maka toko bukunya beberapa yang didatangi ya yang ada buku - buku tersebut, walau gue juga kadang mikir "judul - judul romance apa yang laku di negara itu ya? Apa seleranya sama kayak pembaca Amrik atau malah sebaliknya?". Hal yang membuat gue terhenyak, karena kayak sesuatu yang rasanya masih JAUH di masa depan untuk memimpikan sebuah toko buku yang tematik karena toko buku di Indonesia masih mayoritas dari jaringan toko besar. Indonesia bahkan kalah dari Faroe untuk masalah biaya distribusi buku. Bagian tentang Rumania mengingatkan gue saat Mba Muthia cerita kalau dia pernah ke kastil Bran abis baca The Historia, buku tebal yang bikin gue ngantuk itu (wk!). Bagian tentang Dresden cukup lucu, karena gue jadi inget bahasan kami dulu soal buku - buku Karl May. Bagian Frankfurt dan Leipzig sangat informatif dan full of insight untuk kamu yang mungkin penasaran sama gimana proses di balik industri buku. Bagian dari negara lain tentunya juga menarik dan ga mungkin gue bahas semua juga kan, nanti malah jadi ga seru.
Kekurangan buku ini mungkin di typo yang bejibun, dan kebetulan punya gue ini beberapa halamannya kebalik :'). Masalah kebaliknya sih, ya udah lah gue terima aja. Ini masih mending kebalik daripada halamannya hilang kan. Selain itu, beberapa gaya penceritaan Mba Muthia masih bisa diterima karena gue sendiri aslinya juga nyindiran, tapi bisa jadi yang lain ga bisa nerima, hahaha. Jadi ya kembali ke preferensi kamu juga, karena beberapa hal bisa banget buat jadi diskusi lebih menyeluruh.
Baca DTBkTB sedikit banyak mengingatkan gue sama salah satu mimpi anak- anak BBI dulu mau bikin buku tentang Literatourism, gabungan literasi dan jalan - jalan. Sayangnya impian itu akhirnya kandas, layu sebelum berkembang. Tapi gue seneng karena Mba Muthia justru memilih menuliskannya dan menerbitkan dalam buku. Membagi pengalaman, insightnya yang sangat banyak dan mungkin rasa resah hatinya terkait industri buku atau malah hal yang lebih personal, kepada orang asing aka calon pembacanya itu sungguh keberanian yang luar biasa.
Ditunggu buku jilid dua DTBkTBnya ya! ^_^
Hidup kan memang sekumpulan itinerari perjalanan dan daftar destinasi impian. Tak ada yang perlu dicemaskan dari hari esok yang akan menjelang. Selama otak masih terus berputar dan hati masih terus hangat, semua akan baik - baik saja.