Scan barcode
A review by amourtautumn
Di Tanah Lada by Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
dark
emotional
sad
medium-paced
- Plot- or character-driven? Character
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? It's complicated
- Flaws of characters a main focus? Yes
3.75
Di sini, jujur aku belum banyak baca buku dengan sudut pandang orang ke-satu, tapi penyampaiannya yang benar-benar mengikuti usia si karakter bikin aku amaze. Ada perasaan lucu dan gemas akibat rasa penasaran yang Salva tunjukkan, dan tetap dibarengi rasa khawatir apa yang akan terjadi selanjutnya tiap aku buka halaman.
Selama ada narasi di mana Papa Salva atau Papa P muncul, aku nggak bisa berhenti mengerutkan kening saking cemasnya. Rasa takut dan juga penasaran ingin terus lanjut baca tuh udah mirip kayak lagi baca horror. Sayang, di akhir cerita sisa perasaan yang ada justru malah kosong. Ada moment di mana aku bahkan udah nggak bisa nangis ataupun merasa sedih lagi, tapi kosong itu the worst feeling ever buatku pribadi.
Walaupun begitu, ada beberapa dialog yang aku suka, karena novel ini punya pesan yang deep banget, tapi aku coba tulis satu aja, "Jadilah anak kecil barang sebentar lagi. Lebih lama lagi. Bacalah banyak buku tanpa mengerti artinya. Bermainlah tanpa takut rasa sakit. Tonton televisi tanpa takut jadi bodoh. Bermanja-manjalah tanpa takut dibenci. Makanlah tanpa takut gendut. Percayalah tanpa takut kecewa. Sayangilah orang tanpa takut dikhianati. Hanya sekarang kamu bisa mendapatkan semua itu. Rugi, kalau tidak memanfaatkan saat-saat ini untuk hidup tanpa rasa takut."
Aku tau rasa-rasanya aku belum pantas buat ngajarin orang, karena aku pun masih banyak banget kurangnya, apalagi belum pernah jadi orang tua juga. Tapi kalo kalimat itu udah gak cukup relate untuk usia-ku yang sekarang, aku harap seenggaknya sedikit aja, semampu aku, aku bisa membantu orang-orang yang ada di sekitarku.
(Dan please, kalo belum siap punya anak, belum siap jadi orang tua, belum siap berumah tangga, please jangan punya anak dulu ya....)
Selama ada narasi di mana Papa Salva atau Papa P muncul, aku nggak bisa berhenti mengerutkan kening saking cemasnya. Rasa takut dan juga penasaran ingin terus lanjut baca tuh udah mirip kayak lagi baca horror. Sayang, di akhir cerita sisa perasaan yang ada justru malah kosong. Ada moment di mana aku bahkan udah nggak bisa nangis ataupun merasa sedih lagi, tapi kosong itu the worst feeling ever buatku pribadi.
Walaupun begitu, ada beberapa dialog yang aku suka, karena novel ini punya pesan yang deep banget, tapi aku coba tulis satu aja, "Jadilah anak kecil barang sebentar lagi. Lebih lama lagi. Bacalah banyak buku tanpa mengerti artinya. Bermainlah tanpa takut rasa sakit. Tonton televisi tanpa takut jadi bodoh. Bermanja-manjalah tanpa takut dibenci. Makanlah tanpa takut gendut. Percayalah tanpa takut kecewa. Sayangilah orang tanpa takut dikhianati. Hanya sekarang kamu bisa mendapatkan semua itu. Rugi, kalau tidak memanfaatkan saat-saat ini untuk hidup tanpa rasa takut."
Aku tau rasa-rasanya aku belum pantas buat ngajarin orang, karena aku pun masih banyak banget kurangnya, apalagi belum pernah jadi orang tua juga. Tapi kalo kalimat itu udah gak cukup relate untuk usia-ku yang sekarang, aku harap seenggaknya sedikit aja, semampu aku, aku bisa membantu orang-orang yang ada di sekitarku.
(Dan please, kalo belum siap punya anak, belum siap jadi orang tua, belum siap berumah tangga, please jangan punya anak dulu ya....)
Graphic: Suicide and Violence