Scan barcode
A review by renpuspita
Anak-Anak Tukang by Kembangmanggis
inspiring
lighthearted
relaxing
slow-paced
4.0
Anak - Anak Tukang adalah karya ibu Baby Ahnan, yang lebih dikenal dengan nama Kembangmanggis. Infonya sih beliau penulis jaman 80'an, yang jadi make sense soalnya ya gue kan lahirnya di akhir2 80-an ya wkwkw. Makanya ya ga kenal - kenal banget. Apalagi ternyata bu Ahnan ini 2 tahun lebih tua dari bapak gue, jadi baca buku ini emang berasa kayak dengerin cerita orang tua sih. Tapi ya disitulah pesona dari buku Anak - Anak Tukang ini.
Gue kurang paham kenapa buku ini dikategorikan sebagai novel, karena sejatinya Anak - Anak Tukang itu lebih pas sebagai memoar. Anak - Anak Tukang sendiri juga judul salah satu bab di buku ini, yang lebih tepat disebut sebagai tulisan keseharian Kembangmanggis. Jadi alurnya memang ga linear dan cenderung random. Setiap bab diawali atau diakhiri dengan sketsa dari Kembangmanggis, dan menjadi keyword dari apa yang mau diceritakan oleh penulisnya. Mulai dari kesehariannya di Ubud bersama dua anak - anaknya, lalu bagaimana perjuangan Kembangmanggis berbisnis, dan juga solo trip pakai motor (!) di usia menjelang 60 tahunan ke Sumbawa dan Flores. Bagian trip ke Sumbawa itu bagi gue luar biasa sih, tapi secara keseluruhan Kembangmanggis emang luar biasa. I mean, kapan gue baca ibu - ibu umur mau 60-an pergi dari Bogor ke Bandung cuma NAIK MOTOR? Suami gue aja belum tentu mau kayak gini, dan apalagi gue, hahaha. Makanya gue salut banget sama Kembangmanggis yang ngetrip dari Ubud ke Flores dengan hanya motor saja. Sendirian pula! Membaca interaksinya dengan masy Flores cukup mengetuk hati, mengingatkan gue pas trip gue kemaren ke Wolo di Kolaka, Sultra, yang mana daerahnya cukup terpencil juga.
Bagian di Ubud juga menarik, dimana kelihatan banget Kembangmanggis ini emang suka makan dan deskripsi makanan yang dijabarkan emang jadi terasa lezat. Padahal gue bukan penggemar sambal, apalagi sambal matah dan juga ga mau makan bawang merah yang masih mentah. Tapi kelihaian Kembangmanggis dalam menjabarkan kesenangannya akan bawang merah dan juga usahanya dalam mencari sambal matah yang pas rasanya membuat gue tersenyum simpul. Bagian saat Kembangmanggis menjalankan bisnis kulinernya (ternyata beliau ini ownernya "Makaroni Panggang" di Bandung) membuat gue manggut - manggut, terutama usahanya dalam bermanuver saat beberapa cabang mengalami kesulitan keuangan dan semangatnya dalam memberdayakan ibu - ibu rumah tangga untuk berdikari. Bahkan bagian saat dia mengajak ibu2 bagian produksi usahanya untuk berlibur bikin gue merasa terharu.
Anak - Anak Tukang memang sebuah memoar yang luar biasa. Buku ini cocok dibaca dalam sekali duduk, dalam kondisi penat untuk melepas lelah, atau bahkan saat pengen cari buku yang wholesome. Membaca kisah - kisah Kembangmanggis emang terasa seperti mendengar kisah orang tua sendiri. Kadang di awal agak menghakimi, tapi di akhir bab mengakui kalau salah. Pemilihan kata - katanya sendiri sangat kaya, tegas tapi tetap enak dibaca. Dilengkapi dengan wejangan - wejangan yang tak terasa menggurui dan terasa kalau Kembangmanggis ini emang sudah menjalani banyak asam garam kehidupan. Sayangnya, buku berhenti saat solo trip Kembangmanggis di Sumbawa yang memberikan pertanyaan cukup menggelitik, bagaimana agar anak - anak di Sumbawa yang sudah lulus sekolah bisa berwirausaha, dimana bab ini ditulis tahun 2017. Sebuah pertanyaan yang mungkin juga belum ada jawabannya sampai sekarang di 2023 ya.
Recommended!
Gue kurang paham kenapa buku ini dikategorikan sebagai novel, karena sejatinya Anak - Anak Tukang itu lebih pas sebagai memoar. Anak - Anak Tukang sendiri juga judul salah satu bab di buku ini, yang lebih tepat disebut sebagai tulisan keseharian Kembangmanggis. Jadi alurnya memang ga linear dan cenderung random. Setiap bab diawali atau diakhiri dengan sketsa dari Kembangmanggis, dan menjadi keyword dari apa yang mau diceritakan oleh penulisnya. Mulai dari kesehariannya di Ubud bersama dua anak - anaknya, lalu bagaimana perjuangan Kembangmanggis berbisnis, dan juga solo trip pakai motor (!) di usia menjelang 60 tahunan ke Sumbawa dan Flores. Bagian trip ke Sumbawa itu bagi gue luar biasa sih, tapi secara keseluruhan Kembangmanggis emang luar biasa. I mean, kapan gue baca ibu - ibu umur mau 60-an pergi dari Bogor ke Bandung cuma NAIK MOTOR? Suami gue aja belum tentu mau kayak gini, dan apalagi gue, hahaha. Makanya gue salut banget sama Kembangmanggis yang ngetrip dari Ubud ke Flores dengan hanya motor saja. Sendirian pula! Membaca interaksinya dengan masy Flores cukup mengetuk hati, mengingatkan gue pas trip gue kemaren ke Wolo di Kolaka, Sultra, yang mana daerahnya cukup terpencil juga.
Bagian di Ubud juga menarik, dimana kelihatan banget Kembangmanggis ini emang suka makan dan deskripsi makanan yang dijabarkan emang jadi terasa lezat. Padahal gue bukan penggemar sambal, apalagi sambal matah dan juga ga mau makan bawang merah yang masih mentah. Tapi kelihaian Kembangmanggis dalam menjabarkan kesenangannya akan bawang merah dan juga usahanya dalam mencari sambal matah yang pas rasanya membuat gue tersenyum simpul. Bagian saat Kembangmanggis menjalankan bisnis kulinernya (ternyata beliau ini ownernya "Makaroni Panggang" di Bandung) membuat gue manggut - manggut, terutama usahanya dalam bermanuver saat beberapa cabang mengalami kesulitan keuangan dan semangatnya dalam memberdayakan ibu - ibu rumah tangga untuk berdikari. Bahkan bagian saat dia mengajak ibu2 bagian produksi usahanya untuk berlibur bikin gue merasa terharu.
Anak - Anak Tukang memang sebuah memoar yang luar biasa. Buku ini cocok dibaca dalam sekali duduk, dalam kondisi penat untuk melepas lelah, atau bahkan saat pengen cari buku yang wholesome. Membaca kisah - kisah Kembangmanggis emang terasa seperti mendengar kisah orang tua sendiri. Kadang di awal agak menghakimi, tapi di akhir bab mengakui kalau salah. Pemilihan kata - katanya sendiri sangat kaya, tegas tapi tetap enak dibaca. Dilengkapi dengan wejangan - wejangan yang tak terasa menggurui dan terasa kalau Kembangmanggis ini emang sudah menjalani banyak asam garam kehidupan. Sayangnya, buku berhenti saat solo trip Kembangmanggis di Sumbawa yang memberikan pertanyaan cukup menggelitik, bagaimana agar anak - anak di Sumbawa yang sudah lulus sekolah bisa berwirausaha, dimana bab ini ditulis tahun 2017. Sebuah pertanyaan yang mungkin juga belum ada jawabannya sampai sekarang di 2023 ya.
Recommended!