A review by renpuspita
Purple Eyes by Prisca Primasari

emotional hopeful lighthearted medium-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0

 Membaca Purple Eyes mengingatkan gue sama beberapa fantasy romance YA atau yang adult (minus smutnya lah ya) yang rilis dari author-author luar negeri. Meski ini karya author lokal, gue sendiri cukup suka dengan kualitas penulisannya yang oke. Memang berasa terjemahan, tapi ga ada rasa kaku yang pernah gue rasakan kalau baca buku dengan setting dan penduduk luar negeri tapi yang nulis orang Indonesia. Mungkin karena authornya sendiri, Prisca Primasari ini penerjemah juga selain jadi penulis. Jadi dia tahu bagaimana penulisan yang walau rasa terjemahan, tapi tetep enak untuk dibaca.

Mengambil sedikit mitos Yunani, yaitu tentang sang dewa kematian, Hades (walau gue mau protes kalau dewa kematian di mitologi Jepang itu harusnya Izanami aja, bukan Izanagi), Purple Eyes memang cukup kental tema "kematian"nya. Walau begitu unsur gore atau kekerasannya tidak terlalu implisit mengingat salah satu sub plot di buku ini adalah Hades yang memburu seorang serial killer yang berkeliaran di kota Trondheim, Norwegia. Purple Eyes berfokus pada kisah Lyre atau Solveig, asistennya Hades dan hubungannya dengan Ivarr Amundsen. Ivarr sendiri seorang pemuda pemilik pabrik suvenir yang baru saja kehilangan adiknya, Nikolai yang tewas terbunuh oleh si serial killer. Awalnya Solveig ga ngerti kenapa Hades nyuruh Solveig buat deketin Ivarr terus, ngajak jalan - jalan, makan etc. Sampai akhirnya tujuan Hades pun terungkap, tapi semuanya juga mulai terlambat karena Solveig perlahan jatuh cinta sama Ivarr, yang bersikap dingin bak patung lilin padahal baru kehilangan adiknya. Pertanyaannya tentu saja, apakah Ivarr emang aslinya ga punya emosi sama sekali?

Tema utama Purple Eyes sendiri menurut gue adalah how to deal with grief. Selain kematian, rasa sedih dan penyesalan memang jadi salah satu topik yang dibahas di buku ini. Dengan bantuan Solveig (dan juga Hades), Ivarr akhirnya perlahan mulai memproses rasa dukanya akibat kehilangan Nikolai dan juga serentetan musibah yang menimpa pemuda itu. Buku ini memang selain terasa aura duka dan sendu, juga penuh dengan salju yang menguarkan rasa dingin. Tapi anehnya, membaca Purple Eyes menimbulkan rasa hangat. Gue suka baca kisah romansa antara Solveig dan Ivarr yang walau dalam hitungan hari, tapi dieksekusi dengan baik oleh Prisca. Tidak ada rasa terburu - buru, apa yang terjadi antara Solveig dan Ivarr rasanya begitu alami, bahkan setelah Ivarr tahu identitas Solveig yang sebenarnya. Untuk ukuran sebuah buku tipis aka novella, ceritanya cukup padat dan karakterisasinya ditulis cukup baik. Karena toh, karakternya juga hanya berkutat di 3 tokoh saja (plus 1 tokoh si serial killer yang lebih ke arah figuran). Jangan khawatir, ceritanya berakhir dengan bahagia. Tidak ada deus ex machinae (walau Hades ini dewa), bisa dibilang endingnya memuaskan.

Purple Eyes ini buku pertama dari Prisca yang gue baca, tapi gue jadi penasaran sama buku dia yang lain. Kalau kamu nyari fantasy dengan bumbu romansa dari author lokal dan juga buku yang tipis (buku ini ga sampe 200 hal) untuk dibaca sekali duduk, gue rekomen banget Purple Eyes. 

Expand filter menu Content Warnings