Scan barcode
A review by clavishorti
The Confession Of The Sirens - Nyanyian Sang Siren by Shichiri Nakayama
challenging
dark
emotional
informative
inspiring
mysterious
reflective
sad
tense
fast-paced
- Plot- or character-driven? A mix
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? It's complicated
4.0
Dia, sang siren, membius penonton dengan nyanyiannya yang penuh pesona, merayu mereka hingga ke tepi kehancuran. Bagaimana mungkin keindahan yang sedemikian rupa dapat menjadi sumber kebinasaan yang tak terelakkan? Tak jauh berbeda dengan makhluk misterius itu, suara Takami Asakura dan rekan-rekannya seolah menjadi jerat, menggelincirkan orang-orang ke dalam pusaran kecurigaan dan penghinaan. Dalam situasi yang melibatkan Takami Asakura, terjebaklah ia dalam labirin antara kebenaran yang tersembunyi dan keraguan yang merajalela.
Sejak awal, pandangan saya tertarik pada keelokan sampul buku セイレーンの懺悔 (Sirens no Zange) karya Shichiri Nakayama dalam adaptasi bahasa Indonesia, yang berjudul The Confession of the Sirens (Nyanyian Sang Siren). Kolaborasi gemilang antara Hastapena, ilustrator ulung, dan Ikmal Aldwinsyah, ahli artistik yang penuh kreasi, menjadikan sampul buku ini bukan hanya sekadar visual, melainkan suatu karya seni yang sungguh memikat.
Seakan-akan menjadi pintu gerbang menuju dunia yang tersembunyi, warna-warna yang dipilih tidak hanya mencuri perhatian, tetapi juga menciptakan aura misterius yang menggoda rasa ingin tahu pembaca. Setiap elemen pada sampul, dari ilustrasi hingga komposisi warna, terasa selaras dan menyatu, membentuk daya tarik visual yang tak bisa diabaikan. Dengan brilian, Hastapena dan Ikmal Aldwinsyah membawa pembaca ke dalam pandangan pertama yang meyakinkan bahwa di dalam buku ini tersimpan sesuatu yang istimewa.
Namun, buku ini tak hanya menggoda dengan keindahan visualnya; ia mengajak kita mengeksplorasi ke dalam lapisan-lapisan cerita yang begitu mendalam. Sejak bagian pertama, kita diajak menyusuri lorong-lorong gelap dunia media massa dan jurnalistik, setiap langkahnya membangkitkan ketegangan dan kegetiran. Melalui perjalanan karakter Takami Asakura, buku ini membuka tirai yang menyembunyikan rahasia di balik judul besar suatu berita, mengungkap sisi gelap yang tersembunyi.
Saya sangat terkesan dengan keberanian Shichiri Nakayama dalam memilih topik-topik yang kontroversial dan mendalam. Pemaparan isu-isu seperti etika jurnalistik, kehausan popularitas, dan sikap selektif media massa tidak hanya sekadar menyajikan pemandangan luas, melainkan membongkar setiap lapisan kompleksitasnya. Misalnya, ketika penulis membahas etika jurnalistik, bukan hanya diperlihatkan situasinya, tetapi juga dilema moral yang dihadapi oleh Takami Asakura, menyelami pertarungan batin yang dialaminya di tengah kekhawatiran akan kebenaran dan desakan kepopuleran.
Lebih jauh lagi, narasi dengan detail ini memberikan gambaran yang kuat mengenai bagaimana keputusan-keputusan di dunia media massa dapat berdampak pada kehidupan seseorang. Misalnya, bagaimana kecenderungan media massa untuk mengejar kepopuleran dapat mengorbankan substansi dan kebenaran dalam pemberitaan. Hal ini menciptakan kesadaran mendalam pada pembaca tentang kompleksitas moral dan etika yang menjadi latar belakang setiap pilihan yang dihadapi oleh tokoh-tokoh di dalam buku ini.
Dalam menyajikan dinamika kisahnya, alur cerita ini berhasil memikat perhatian saya dalam setiap nuansa yang dihadirkan. Pemutarbalikan alur tak hanya menambahkan elemen dramatis yang mengagetkan, tapi juga memperkaya pengalaman baca dengan kejutan-kejutan yang tak terduga. Dilema moral yang dihadapi oleh para karakter menciptakan panggung untuk merenung lebih dalam tentang tekanan dan keputusan sulit yang mewarnai dunia media massa dan jurnalistik. Meski begitu, sebagai pembaca, saya tak bisa mengabaikan nuansa di mana beberapa bagian narasi terasa sedikit dipaksakan, menciptakan secercah kesendatan yang mencolok di tengah-tengah cerita yang sejatinya mengalir begitu lancar.
Seperti karakter Taichi Satoya, adakalanya menjadi penyebab frustrasi bagi saya. Penggambarannya terkadang terasa dipaksakan untuk menciptakan kesan ‘berwatak keras’, namun justru merugikan aspek kealamian karakternya. Sama halnya dengan pengembangan karakter Takami Asakura, yang saya rasa masih memerlukan sentuhan lebih dalam dalam hal perkembangan. Meskipun saya sungguh menikmati alur cerita buku ini, namun sejumlah momen tertentu memberi kesan bahwa masih ada potensi peningkatan.
Selanjutnya, beralih ke aspek alih bahasa, menurut pandangan saya, Joyce Anastasia Setyawan memberikan kemudahan bagi pembaca dalam meresapi pesan yang ingin disampaikan oleh Shichiri Nakayama. Terutama, di tengah padatnya istilah-istilah seputar media massa dan jurnalistik, mungkin bagi pembaca yang belum merambah ranah ini, akan membutuhkan usaha lebih. Namun, terjemahan ini berhasil disampaikan dengan gaya penulisan yang apik, memberikan kemudahan bagi pembaca untuk terhubung dengan konten.
Seiringnya melangkah, catatan kaki dalam terjemahan ini bukan sekadar pendamping setia, melainkan pemandu jitu. Tak hanya memberikan bantuan yang luar biasa, tetapi juga memberikan penjelasan mendalam tentang setiap pilihan kata atau kalimat yang diambil oleh Joyce Anastasia Setyawan. Inilah detail-detail kecil yang bukan hanya memperkaya pengalaman membaca saya, tapi juga mencerminkan dedikasi penuh sang penerjemah untuk memastikan pemahaman yang mendalam dan tak terhingga.
Namun, seakan menyelinap di antara keindahan kata, ada beberapa titik yang mengundang perhatian, terutama soal penataan dan ruang teks. Tata letak yang digunakan terasa seperti kurang selaras, sementara ruang pinggir yang terlalu dekat memberi kesan seperti halaman yang ingin melompat keluar. Pada catatan kaki halaman 276, penempatannya terlalu rapat dengan teks utama, menciptakan potensi gangguan visual yang dapat mengurangi kenyamanan pembaca. Dengan harapan, aspek-aspek ini dapat diperbaiki guna meningkatkan kualitas pengalaman membaca secara keseluruhan, sesuai dengan standar kenyamanan dan estetika yang diinginkan.
Terbenam dalam halaman, The Confession of the Sirens (Nyanyian Sang Siren) melibatkan pembaca dalam sebuah perjalanan yang tak hanya sekadar cerita, melainkan pelayaran penuh angin segar menuju esensi yang tak terlupakan. Dari sampul yang menakjubkan hingga jalinan cerita yang memukau, buku ini membuka gerbang menuju dunia yang penuh misteri dan makna mendalam. Meski beberapa aspek teknis membutuhkan sentuhan tambahan, semoga kekurangan ini justru menjadi bumbu penambah untuk membuat pengalaman membaca ini tak hanya memuaskan dahaga literer, melainkan sebuah ekspedisi mendalam menuju ketinggian yang lebih baik. Seiring halaman terakhir tertutup, harapan saya adalah semoga suara orang-orang yang terpinggirkan akan terus bersuar dan didengarkan. The Confession of the Sirens (Nyanyian Sang Siren) tidak hanya menyudutkan kita dalam kisahnya; ia memperbolehkan kita menyaksikan bukti nyata dari suara mematikan sang siren.
Sejak awal, pandangan saya tertarik pada keelokan sampul buku セイレーンの懺悔 (Sirens no Zange) karya Shichiri Nakayama dalam adaptasi bahasa Indonesia, yang berjudul The Confession of the Sirens (Nyanyian Sang Siren). Kolaborasi gemilang antara Hastapena, ilustrator ulung, dan Ikmal Aldwinsyah, ahli artistik yang penuh kreasi, menjadikan sampul buku ini bukan hanya sekadar visual, melainkan suatu karya seni yang sungguh memikat.
Seakan-akan menjadi pintu gerbang menuju dunia yang tersembunyi, warna-warna yang dipilih tidak hanya mencuri perhatian, tetapi juga menciptakan aura misterius yang menggoda rasa ingin tahu pembaca. Setiap elemen pada sampul, dari ilustrasi hingga komposisi warna, terasa selaras dan menyatu, membentuk daya tarik visual yang tak bisa diabaikan. Dengan brilian, Hastapena dan Ikmal Aldwinsyah membawa pembaca ke dalam pandangan pertama yang meyakinkan bahwa di dalam buku ini tersimpan sesuatu yang istimewa.
Namun, buku ini tak hanya menggoda dengan keindahan visualnya; ia mengajak kita mengeksplorasi ke dalam lapisan-lapisan cerita yang begitu mendalam. Sejak bagian pertama, kita diajak menyusuri lorong-lorong gelap dunia media massa dan jurnalistik, setiap langkahnya membangkitkan ketegangan dan kegetiran. Melalui perjalanan karakter Takami Asakura, buku ini membuka tirai yang menyembunyikan rahasia di balik judul besar suatu berita, mengungkap sisi gelap yang tersembunyi.
Saya sangat terkesan dengan keberanian Shichiri Nakayama dalam memilih topik-topik yang kontroversial dan mendalam. Pemaparan isu-isu seperti etika jurnalistik, kehausan popularitas, dan sikap selektif media massa tidak hanya sekadar menyajikan pemandangan luas, melainkan membongkar setiap lapisan kompleksitasnya. Misalnya, ketika penulis membahas etika jurnalistik, bukan hanya diperlihatkan situasinya, tetapi juga dilema moral yang dihadapi oleh Takami Asakura, menyelami pertarungan batin yang dialaminya di tengah kekhawatiran akan kebenaran dan desakan kepopuleran.
Lebih jauh lagi, narasi dengan detail ini memberikan gambaran yang kuat mengenai bagaimana keputusan-keputusan di dunia media massa dapat berdampak pada kehidupan seseorang. Misalnya, bagaimana kecenderungan media massa untuk mengejar kepopuleran dapat mengorbankan substansi dan kebenaran dalam pemberitaan. Hal ini menciptakan kesadaran mendalam pada pembaca tentang kompleksitas moral dan etika yang menjadi latar belakang setiap pilihan yang dihadapi oleh tokoh-tokoh di dalam buku ini.
Dalam menyajikan dinamika kisahnya, alur cerita ini berhasil memikat perhatian saya dalam setiap nuansa yang dihadirkan. Pemutarbalikan alur tak hanya menambahkan elemen dramatis yang mengagetkan, tapi juga memperkaya pengalaman baca dengan kejutan-kejutan yang tak terduga. Dilema moral yang dihadapi oleh para karakter menciptakan panggung untuk merenung lebih dalam tentang tekanan dan keputusan sulit yang mewarnai dunia media massa dan jurnalistik. Meski begitu, sebagai pembaca, saya tak bisa mengabaikan nuansa di mana beberapa bagian narasi terasa sedikit dipaksakan, menciptakan secercah kesendatan yang mencolok di tengah-tengah cerita yang sejatinya mengalir begitu lancar.
Seperti karakter Taichi Satoya, adakalanya menjadi penyebab frustrasi bagi saya. Penggambarannya terkadang terasa dipaksakan untuk menciptakan kesan ‘berwatak keras’, namun justru merugikan aspek kealamian karakternya. Sama halnya dengan pengembangan karakter Takami Asakura, yang saya rasa masih memerlukan sentuhan lebih dalam dalam hal perkembangan. Meskipun saya sungguh menikmati alur cerita buku ini, namun sejumlah momen tertentu memberi kesan bahwa masih ada potensi peningkatan.
Selanjutnya, beralih ke aspek alih bahasa, menurut pandangan saya, Joyce Anastasia Setyawan memberikan kemudahan bagi pembaca dalam meresapi pesan yang ingin disampaikan oleh Shichiri Nakayama. Terutama, di tengah padatnya istilah-istilah seputar media massa dan jurnalistik, mungkin bagi pembaca yang belum merambah ranah ini, akan membutuhkan usaha lebih. Namun, terjemahan ini berhasil disampaikan dengan gaya penulisan yang apik, memberikan kemudahan bagi pembaca untuk terhubung dengan konten.
Seiringnya melangkah, catatan kaki dalam terjemahan ini bukan sekadar pendamping setia, melainkan pemandu jitu. Tak hanya memberikan bantuan yang luar biasa, tetapi juga memberikan penjelasan mendalam tentang setiap pilihan kata atau kalimat yang diambil oleh Joyce Anastasia Setyawan. Inilah detail-detail kecil yang bukan hanya memperkaya pengalaman membaca saya, tapi juga mencerminkan dedikasi penuh sang penerjemah untuk memastikan pemahaman yang mendalam dan tak terhingga.
Namun, seakan menyelinap di antara keindahan kata, ada beberapa titik yang mengundang perhatian, terutama soal penataan dan ruang teks. Tata letak yang digunakan terasa seperti kurang selaras, sementara ruang pinggir yang terlalu dekat memberi kesan seperti halaman yang ingin melompat keluar. Pada catatan kaki halaman 276, penempatannya terlalu rapat dengan teks utama, menciptakan potensi gangguan visual yang dapat mengurangi kenyamanan pembaca. Dengan harapan, aspek-aspek ini dapat diperbaiki guna meningkatkan kualitas pengalaman membaca secara keseluruhan, sesuai dengan standar kenyamanan dan estetika yang diinginkan.
Terbenam dalam halaman, The Confession of the Sirens (Nyanyian Sang Siren) melibatkan pembaca dalam sebuah perjalanan yang tak hanya sekadar cerita, melainkan pelayaran penuh angin segar menuju esensi yang tak terlupakan. Dari sampul yang menakjubkan hingga jalinan cerita yang memukau, buku ini membuka gerbang menuju dunia yang penuh misteri dan makna mendalam. Meski beberapa aspek teknis membutuhkan sentuhan tambahan, semoga kekurangan ini justru menjadi bumbu penambah untuk membuat pengalaman membaca ini tak hanya memuaskan dahaga literer, melainkan sebuah ekspedisi mendalam menuju ketinggian yang lebih baik. Seiring halaman terakhir tertutup, harapan saya adalah semoga suara orang-orang yang terpinggirkan akan terus bersuar dan didengarkan. The Confession of the Sirens (Nyanyian Sang Siren) tidak hanya menyudutkan kita dalam kisahnya; ia memperbolehkan kita menyaksikan bukti nyata dari suara mematikan sang siren.
Graphic: Bullying, Gore, Violence, and Murder
Moderate: Death and Death of parent