A review by clavishorti
Seribu Wajah Ayah by Nurun Ala

dark reflective sad slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

3.0

Dalam perjalanan membaca Seribu Wajah Ayah karya Nurun Ala, setiap halaman seolah membuka lembaran kisah tentang kehangatan dan ketulusan seorang Ayah. Seribu Wajah Ayah menjadi panggung di mana kita dapat merenung, mengenang, dan merasakan sentuhan kasih dari figur Ayah yang begitu mencintai. 
 
Seringkali, dalam hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, kita terperangkap dalam rutinitas dan tuntutan dunia yang sibuk. Namun, di antara baris-baris kata Nurun Ala, terbentang lanskap perjuangan seorang Ayah yang tak pernah terlihat di mata kita. Mereka berjuang tanpa pamrih, tanpa henti, untuk menjaga anak-anaknya dari jauh. Sejalan dengan kesibukan kita, mungkin kita melupakan betapa beratnya tanggung jawab yang mereka pikul. Dalam diam, Ayah berjuang untuk tidak merindukan anak-anaknya yang semakin membesar dan terjebak dalam kesibukan masing-masing. 
 
Kisah ini mengajarkan kita untuk meresapi momen kecil dan menghargai waktu bersama orang tua, terutama Ayah. Ketulusan karakter Ayah di dalam Seribu Wajah Ayah melangkah melintasi perjalanan hidup, tidak hanya sebagai pemimpin keluarga, tetapi juga sebagai sahabat dan pelindung setia. 
 
Pada babak awal, saya merasa terselip dalam keruwetan misterius Seribu Wajah Ayah, seolah terperangkap di antara benang-benang sudut pandang yang menggoda. Pertanyaan mengemuka, siapa gerangan yang berbicara, dan untuk siapa sorotan kisah ini sebenarnya ditujukan? Tetapi, semakin lamanya saya berlayar melalui halaman-halaman, kabut kebingungan itu seperti kain tipis yang perlahan terangkat, membuka panorama alur kisah dengan lebih jelas. 
 
Dalam simfoni kata-kata yang dipintal dengan indah, Seribu Wajah Ayah karya Nurun Ala menjelma menjadi karya yang membawa kecemerlangan tersendiri. Setiap nuansa kehidupan terpapar dengan ketajaman estetika, seolah lukisan kata-kata mampu menyelami kedalaman setiap emosi. Meskipun demikian, beberapa pembaca mungkin merasa tersendat oleh kelembutan kisah yang sesekali berlarut-larut, menyelinap di antara kisi-kisi keindahan yang terhampar. 
 
Di tengah halaman-halaman yang merangkai kisah, terasa seperti sedang menerima “nasihat”, terutama di bagian awal buku. Kontrasnya, mungkin sebagian pembaca merasakan sentuhan ini serupa dengan pesan-pesan yang kerap mengiringi momen renungan menjelang ujian para siswa. Saat itulah, muncul pertanyaan yang menggelitik pikiran, apakah keberadaan nuansa seperti ini menjadi kelebihan yang memberikan arahan, ataukah malah menjadi kelemahan yang menciptakan kekakuan dalam kisah? Jawaban atas teka-teki ini masih menjadi bagian dari pencarian saya. 
 
Sayang sekali, meskipun Seribu Wajah Ayah karya Nurun Ala memancarkan refleksi yang penuh haru tentang orang tua, terutama Ayah, nyatanya kisah ini belum mampu sepenuhnya merangkul saya dalam alur dan keberlanjutan karakternya. Meskipun buku ini sukses memicu arus pemikiran tentang orang tua saya, ada kekosongan yang mencuat, membuat ikatan emosional dengan kisah ini belum benar-benar terjalin. 
 
Mungkin, ketidaksempurnaan ini bersembunyi dalam keunikan cara berkisah di dalam halaman buku. Walaupun mampu membangkitkan kenangan tentang orang tua, namun keintiman dengan setiap nuansa kisah sepertinya belum mencapai puncaknya. Kemungkinan, ada elemen-elemen yang luput dari perhatian, atau karakter yang belum tergarap dengan mendalam, menimbulkan kesulitan bagi saya untuk benar-benar merasakan setiap serpihan emosi yang ingin disampaikan oleh penulis. 
 
Dalam keheningan halaman terakhir Seribu Wajah Ayah, saya menganggap perjalanan ini sebagai undangan mendalam untuk merenung dan menghargai keberadaan orang tua. Meski beberapa elemen kisah terasa kabur, dan seakan membatasi hubungan saya secara emosional, tetapi semangat optimisme tetap menyala. Potensi yang masih terpendam dalam karakter dan situasi menantikan ungkapan emosional yang lebih dalam melalui perenungan dan refleksi berkelanjutan. 
 
Seribu Wajah Ayah, meskipun tidak sepenuhnya mencapai selera pribadi saya, berhasil menciptakan kenangan dan refleksi yang mendalam tentang orang tua. Terlepas dari preferensi, tujuan utama buku ini bersinar dengan gemilang, mengingatkan kita akan betapa pentingnya menghormati akar dan kehangatan dalam hubungan keluarga. 

Expand filter menu Content Warnings