A review by thatdecembergirl
Interview with the Vampire by Anne Rice

3.0

Mungkin ini pertama kalinya saya menulis ulasan bahasa Indonesia untuk buku yang dibaca dalam bahasa Inggris. Sungguh pemecah rekor. Maaf, soalnya nggak kuat, guys. Skill bahasa Inggris diri ini ternyata tidak cukup tinggi untuk bisa meracau.

Akhirnya, pada tahun 2023 ini saya membaca buku sejarah. Yeah, you see that sentence correctly. This, my lovely folks, is a history book. Ini adalah momen pivotal di mana vampir-vampir yang pada awalnya digambarkan seram dan relatif monstrous ala-ala drakula Bram Stoker menjadi digambarkan sebagai makhluk Tuhan paling seksi yang nggak bisa mati. Munculnya buku ini adalah sebuah peristiwa sejarah, sebab mungkin tanpa Anne Rice, kita semua tidak akan mendapatkan Edward Cullen dan antek-anteknya di dekade pertama tahun 2000. What a cultural pioneer. What a cultural shift.

Jadi, bagaimana rasanya membaca buku sepenting ini?

Izinkan saya mengutip sedikit celetukan-celetukan yang terlontar keluar dari mulut saya sepanjang menekuri halaman demi halaman [b:Interview with the Vampire|43763|Interview with the Vampire (The Vampire Chronicles, #1)|Anne Rice|https://i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1380631642l/43763._SY75_.jpg|873132]:

"Lestat, kalau gue bilang lu mending ke psikiater. Atau minimal psikolog."
"Oke Louis kamu ternyata juga butuh sesi terapi."
"Buset ini mah Ikari Shinji bahkan sebelum Ikari Shinji nongol di dunia."
"WAKAKA anjir lah buku ini mestinya dibahas aja di mata kuliah Pengantar Filsafat..."

Terus terang saya justru lebih menikmati bagaimana diri saya sendiri bereaksi terhadap bagian-bagian cerita yang sedang saya baca daripada kisahnya sendiri. Sang protagonis, Louis, adalah vampir paling nggak jelas maunya apa sepanjang cerita. Klemar-klemer iya, baperan iya, krisis eksistensi iya, pengecut iya, suka nelangsa sendiri iya, sangean juga iya. Relasinya dengan Lestat dan Claudia, Armand (yang bukan Maulana), dan mungkin seluruh tokoh yang muncul dalam buku ini boleh dibilang toksik, but toxic relationships are kinda my kinks so I am not complaining.

Tapi endingnya kentang banget.

Asli. Bayangkan kentang paling kentang yang pernah terlintas di pikiran kalian, dan akhir kisah ini masih lebih kentang dari itu. Sama seperti kelakuan protagonisnya, cerita ini disudahi dengan nggak jelas maunya apa. But apparently such a dissatisfying ending made it possible for Anne Rice to milk this book into a very, very looooong series of horny-shiny-and-pretty vampires... so, good for her, I guess.

Kalau kalian tidak masalah membaca buku yang lumayan penuh dengan red flag sampai-sampai rasanya kayak menghadiri kampanye PDI Perjuangan, go ahead. Go for it. Novel ini lumayan asik, kok, dalam artian asik yang sama seperti ketika kita makan cemilan berlumur mecin yang jelas-jelas nggak baik untuk kesehatan.

Beberapa peringatan konten yang mungkin perlu dicantumkan (karena tidak semua orang punya kekebalan racun yang relatif tinggi): death, graphic depiction of all kinds of things that are pretty much called "foreplay" nowadays, (bordering) pedophilic behavior, dan tokoh utama yang sesekali bikin pembacanya kepengin nonjok.

Now, time for a mandatory (actual) quote from the book:

"Because if God doesn’t exist we are the creatures of highest consciousness in the universe. We alone understand the passage of time and the value of every minute of human life. And what constitutes evil, real evil, is the taking of a single human life. Whether a man would have died tomorrow or the day after or eventually … it doesn’t matter. Because if God does not exist, this life … every second of it … is all we have."


(Ngerti kan kenapa saya tertarik bawa novel ini buat jadi bahan diskusi di kelas Pengantar Filsafat? It has just enough amount of fafifu in it.)

Dan sekarang, saya sudah tidak lagi buta sejarah.
Betapa indahnya hidup sebagai manusia yang tercerahkan.