A review by renpuspita
Spora by Ahmad Alkadri

dark mysterious tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? No

2.0

 Idenya cukup bagus, tapi gagal dalam eksekusinya.

Membaca sekilas judul dan blurb Spora, emang mau ga mau ngingetin sama game The Last of Us, mengingat "musuh"nya adalah jamur yang bisa menjadi parasit dalam tubuh manusia dan membunuhnya setelah fase inkubasi. Sayangnya, buku ini emang kerasa banget kalau debutnya Alkadri (yang gue kenal dari komunitas Blogger Buku Indonesia). Bagi gue, idenya walau tidak baru tapi sebenarnya menarik, walau gue kurang paham kenapa settingnya harus di SMA. Mungkin emang bukunya ditargetkan untuk pembaca remaja? Kalau iya, mungkin kalau yang ga masalahan teknis dalam menulis, buku ini lumayan sebenarnya. Sayangnya, kelemahan buku ini emang lebih ke segi penulisan utamanya dialog dan juga eksekusinya.

Gue udah baca beberapa judul penulis lokal di tahun 2023 dan lebih banyak dari tahun - tahun sebelumnya, jadi gue tahu gimana kalau penulis ga bisa menulis dialog yang renyah dan alami. Dialog di buku Spora ini nanggung dan inkonsistensinya tinggi. Kadang pakai bahasa baku, kadang gaul. Lucunya si tokoh utama, yaitu Alif, gonta ganti bahasa baku dan gaul saat ngobrol sama teman dekatnya yaitu Rina. Jadi gue mau ga mau selalu mengernyit waktu bacanya dan mengoreksi dialog mereka supaya terasa kalau ini emang BENERAN anak SMA yang ngomong dalam percakapan sehari - hari. Ditambah dengan penulisan yang ga konsisten untuk istilah tingkatan kelas dalam SMA, seperti pakai kelas sepuluh, sebelas, tapi next time pakai kelas 3 SMA membuat gue semakin bingung jadi ini maksudnya gimana. Gue curiga kalau ini naskah lama yang terus coba dipoles dan berusaha disamakan dengan kondisi saat novel ini diterbitkan (tahun 2014) karena jaman gue SMA dulu (tahun 2002-an), gue emang masih pakai istilah kelas 1-3. Oh, jangan lupakan juga kesalahan fatal yang terlewat sama editornya, istilah "tidak bergeming". Seriously, ini tim editornya kemana? Ngantuk kah?

Spora ini tebalnya 200-an halaman lebih tapi ditulis dengan spasi 1,5 yang kalau dimampatkan sebenarnya mungkin tebalnya ga bakal sampe 200an. Walau fontnya yang cukup besar sebenarnya ramah untuk mata dan kenyamanan membaca. Ada beberapa ilustrasi isi di dalam buku yang menurut gue cukup menambah point plus pada cerita. Nah, kalau dari segita cerita, pacenya sendiri di awal agak lambat untuk kemudian memuncak dekat akhir. Sayangnya, tidak ada penjelasan yang lebih tentang si "jamur". Jamur ini apakah punya efek halusinasi untuk penderitanya atau memang punya kekuatan supranatural yang lebih sampai bisa "berkomunikasi" ? Endingnya pun sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan terkait konspirasi di balik merebaknya jamur di sekolah Alif yang akhirnya dibiarkan menuju open ending. Karakterisasinya? Hambar. Ga ada yang lovable, ga ada juga yang bikin gue pengen simpatik walau Alif digambarkan sebagai anak dengan masa lalu yang cukup kelam. Interaksinya baik dengan si teman dekat, Rina, maupun gebetannya, Fiona terasa biasa saja. 

Walau dengan banyak kekurangan, gue acungin untuk deskripsi dan penceritaannya sebenarnya agak lumayan jika mau mengesampingkan penulisan dialognya yang canggung. Potensinya juga lumayan, jadi kalau bukunya agak tebalan sedikit (dengan catatan ga dicetak dengan spasi 1,5 s/d 2 sampe jarang2) mungkin beberapa hal akan jelas. Spora emang horror yang bisa dibaca dalam sekali duduk, tapi sayang tidak memberikan rasa puas setelah membacanya. 

Expand filter menu Content Warnings