Scan barcode
A review by renpuspita
Touché by Windhy Puspitadewi
adventurous
lighthearted
mysterious
medium-paced
- Plot- or character-driven? Plot
- Strong character development? It's complicated
- Loveable characters? No
- Diverse cast of characters? No
- Flaws of characters a main focus? Yes
1.5
Kalau gue nemu dialog "EHHHHHHHHHHHHHHHHH???" sekali lagi, pingin gue tampol deh.
Di tahun 2018 gue pernah baca versi adaptasi komik dari novel Touche. Reviewnya sendiri bisa dibaca disini: https://app.thestorygraph.com/reviews/f55dfc2b-9697-4655-ae9a-8b32b1916bd4 ; dan waktu itu gue mikir mungkin novelnya lebih bagus isinya karena namanya adaptasi pasti ga bisa 100% mirip.
Ternyata gue salah. Ini kesekian kalinya gue baca buku karya penulis lokal tapi rasa dialognya kaku, kering banget kayak kanebo. Bahkan kanebo kering pun rasanya ga sekering buku ini. Dialognya serasa baca buku terjemahan, dan ternyata bukan cuma gue aja yang mikir gini karena di review lain juga sama. Sama seperti komplain gue di versi komiknya, di versi novel ini malah lebih parah. Bahasa campur-campur yang dipake di novel ini padahal settingnya sendiri sekolah SMA di Surabaya bikin dialognya berasa cringey. Bahkan dialog Pak Yunus, yang notabene baru pulang dari luar negeri pun terkesan sangat dipaksakan. Berkali - kali saat baca buku ini gue ngoreksi dialog antar tokohnya yang resmi dan kaku banget ngalah2in pidato presiden. Sampe gue mikir, emangnya anak SMA tahun 2011an (awal novel ini ditulis) apalagi di Surabaya ngomongnya kayak gini yah? Oke, kalau ngomongnya pake "loe gue", gue bakal ketawa kenceng, karena trust me, gue dulu anak Malang yang ngomong ya campur - campur bahasa Indo dan bahasa Jawa (baru pake gue setelah pindah kerja ke Jakarta). Di buku ini ga mengesankan kalau Riska, Indra dan Dani itu anak Surabaya! Heck, where's the "eh, koen sek urip ta?" atau "cuk, piye kabarmu saiki?", minimal antara Dani dan Indra karena mereka sohiban . Surabaya seakan menjadi tempelan saja di buku ini.
Gue sendiri mengamini kalau karakterisasi di buku ini memang lemah, apalagi dengan keterangan Indra yang dingin. Iya, iya, udah tahu kalau Indra itu tipe cool, but not that calm, jadi ya ga usah diulang-ulang "kata Indra dingin" atau "jawab Indra dingin". Masa ga ada pilihan kata yang lain, bestie. Dan, perlukah gue ulang kalau dialog-dialognya super cringey? Karena ga cuma kaku, tapi juga beberapa dialog kurang mengalir dengan luwes? Gue heran karena buku ini udah dicetak ulang sampe tujuh kali bahkan covernya ganti 3x dimana gue suka cover yang paling baru, tapi kualitasnya ternyata sama jeleknya? Selain kurang luwes, juga ga konsisten. Di satu dialog pakai "kau", di dialog lain pakai "kamu". Bahkan dialog antara Riska dan Mamanya juga sama kakunya.
Karena dari tadi gue komplen mulu (haha), sebenarnya ada juga kelebihan buku ini. Seperti teka - teki hilangnya Pak Yunus dan bagian penyelidikan trio Riska-Indra-Dani di Solo. Penjabaran perjalanan di Solo bagus dan juga kebenaran di balik hilangnya Pak Yunus juga cukup oke. Walau ya, gue ngerasa di bagian awal - awal saat Pak Yunus ngasihtahu keberadaan touche, itu kayak berasa penulisnya flexing. Like, hey, I know stuff that you don't know. Ini mah cuma feeling gue aja yah, kalau yang lain ga merasa sih gapapa, hahaha.
Pengalaman baca gue kurang nyenengin untuk buku pertama seri Touche ini, dan masih ada dua buku lagi. Semoga aja ada improvement, minimal walaupun dialognya kaku kayak kanebo (lagi), ceritanya bisa bikin tertarik bacanya.
Di tahun 2018 gue pernah baca versi adaptasi komik dari novel Touche. Reviewnya sendiri bisa dibaca disini: https://app.thestorygraph.com/reviews/f55dfc2b-9697-4655-ae9a-8b32b1916bd4 ; dan waktu itu gue mikir mungkin novelnya lebih bagus isinya karena namanya adaptasi pasti ga bisa 100% mirip.
Ternyata gue salah. Ini kesekian kalinya gue baca buku karya penulis lokal tapi rasa dialognya kaku, kering banget kayak kanebo. Bahkan kanebo kering pun rasanya ga sekering buku ini. Dialognya serasa baca buku terjemahan, dan ternyata bukan cuma gue aja yang mikir gini karena di review lain juga sama. Sama seperti komplain gue di versi komiknya, di versi novel ini malah lebih parah. Bahasa campur-campur yang dipake di novel ini padahal settingnya sendiri sekolah SMA di Surabaya bikin dialognya berasa cringey. Bahkan dialog Pak Yunus, yang notabene baru pulang dari luar negeri pun terkesan sangat dipaksakan. Berkali - kali saat baca buku ini gue ngoreksi dialog antar tokohnya yang resmi dan kaku banget ngalah2in pidato presiden. Sampe gue mikir, emangnya anak SMA tahun 2011an (awal novel ini ditulis) apalagi di Surabaya ngomongnya kayak gini yah? Oke, kalau ngomongnya pake "loe gue", gue bakal ketawa kenceng, karena trust me, gue dulu anak Malang yang ngomong ya campur - campur bahasa Indo dan bahasa Jawa (baru pake gue setelah pindah kerja ke Jakarta). Di buku ini ga mengesankan kalau Riska, Indra dan Dani itu anak Surabaya! Heck, where's the "eh, koen sek urip ta?" atau "cuk, piye kabarmu saiki?", minimal antara Dani dan Indra karena mereka sohiban . Surabaya seakan menjadi tempelan saja di buku ini.
Gue sendiri mengamini kalau karakterisasi di buku ini memang lemah, apalagi dengan keterangan Indra yang dingin. Iya, iya, udah tahu kalau Indra itu tipe cool, but not that calm, jadi ya ga usah diulang-ulang "kata Indra dingin" atau "jawab Indra dingin". Masa ga ada pilihan kata yang lain, bestie. Dan, perlukah gue ulang kalau dialog-dialognya super cringey? Karena ga cuma kaku, tapi juga beberapa dialog kurang mengalir dengan luwes? Gue heran karena buku ini udah dicetak ulang sampe tujuh kali bahkan covernya ganti 3x dimana gue suka cover yang paling baru, tapi kualitasnya ternyata sama jeleknya? Selain kurang luwes, juga ga konsisten. Di satu dialog pakai "kau", di dialog lain pakai "kamu". Bahkan dialog antara Riska dan Mamanya juga sama kakunya.
Karena dari tadi gue komplen mulu (haha), sebenarnya ada juga kelebihan buku ini. Seperti teka - teki hilangnya Pak Yunus dan bagian penyelidikan trio Riska-Indra-Dani di Solo. Penjabaran perjalanan di Solo bagus dan juga kebenaran di balik hilangnya Pak Yunus juga cukup oke. Walau ya, gue ngerasa di bagian awal - awal saat Pak Yunus ngasihtahu keberadaan touche, itu kayak berasa penulisnya flexing. Like, hey, I know stuff that you don't know. Ini mah cuma feeling gue aja yah, kalau yang lain ga merasa sih gapapa, hahaha.
Pengalaman baca gue kurang nyenengin untuk buku pertama seri Touche ini, dan masih ada dua buku lagi. Semoga aja ada improvement, minimal walaupun dialognya kaku kayak kanebo (lagi), ceritanya bisa bikin tertarik bacanya.
Moderate: Violence, Kidnapping, and Abandonment