Scan barcode
A review by renpuspita
The Thirteenth Tale - Dongeng Ketiga Belas by Diane Setterfield
emotional
mysterious
sad
tense
slow-paced
- Plot- or character-driven? A mix
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? No
- Flaws of characters a main focus? Yes
4.5
Setiap orang punya cerita, setiap orang punya rahasia dan "hantu"nya sendiri
Gue dulu tertarik beli The Thirteenth Tale atau yang diterjemahkan menjadi Dongeng Ketiga Belas karena covernya yang unik. Gue juga menganggap ini awalnya fantasy karena ada unsur dongeng dan bahkan vibe covernya sendiri mirip The Book of Lost Things yang juga diterjemahkan dalam jangka waktu yang berdekatan (bahkan edisi aslinya pun terbit hampir berbarengan!). Tapi dugaan gue salah. Buku ini bukan fantasy, bahkan bukan dongeng biasa. Dongeng Ketiga Belas adalah kisah tentang kehilangan tak terperi, rasa duka yang begitu tajam, rasa bersalah yang mengakar dalam, hantu yang kerap membayangi dan tragedi yang kelam. Tidak berlebihan rasanya kalau menganggap vibes buku ini kelam, tapi anehnya, gue justru menikmati lembar - lembar di dalamnya.
"Ceritakan padaku yang sesungguhnya"
Dengan premise yang sederhana itulah cerita Dongeng Ketiga Belas dimulai saat Margaret Lea, seorang penulis biografi amatir diundang Vida Winter untuk mendengarkan kisah si penulis dengan masa lalu misterius. Vida memang pendongeng handal, saking handalnya semua jurnalis yang meliputnya dikibuli habis - habisan dengan kisah hidupnya yang dibalut dongeng. Tapi kenapa Vida sekarang mau membuka diri pada Margaret yang notabene bukan siapa - siapa? Ternyata ada alasannya, karena Vida merasa kondisi Margaret mirip dengannnya. Dan bergulirlah kisah keluarga Angelfield, sebuah keluarga disfungsional yang hidup di desa (atau kota kecil?) di Inggris, dengan fokus cerita pada si kembar bernama Adeline dan Emmeline.
Menurut gue, Diane Setterfield sendiri sangat ahli dalam menuliskan penuturan Vida atas kisah hidup keluarga Angelfield. Sebelum wawancara dimulai, Vida sudah meletakkan aturan dan batasan - batasan. Ada awal, tengah dan akhir, tidak ada lompatan dalam cerita -yang berarti cerita dituturkan dalam alur linear tanpa interupsi-, dan tidak ada pertanyaan - pertanyaan. Dengan ini saja pembaca seakan diperingatkan "jangan baca bagian akhirnya dulu supaya kamu ga kena spoiler! Supaya misteri dan teka tekinya terjaga". Lalu memang demikian adanya kisah di buku ini bergulir, runut dari awal sampai akhir. Mengandung awal, tengah dan akhir, sebab dan akibatnya pun jelas. Meski begitu, walau cerita Vida dituturkan dengan alur yang jelas, penulisnya juga mencampurkan cerita Vida dengan cerita Margaret ditambah pertanyaan - pertanyaan yang menghantui benak Margaret. Kebenaran apa yang terkandung dalam cerita Vida? Dari sini juga kita dituntut untuk cukup jeli, karena Vida menceritakan cerita keluarga Angelfield awalnya dari sudut pandang orang ketiga serba tahu, laiknya seorang pengamat sebelum akhirnya terselip (entah sengaja atau tidak) dan menggunakan kata ganti orang "kami" dan lalu jadi "aku" . Sementara untuk narasi dari Margaret sendiri sudah jelas, selalu memakai kata ganti "aku". Untuk membedakan narasi dari pihak Margaret atau Vida sendiri tidak terlalu susah, cukup dengan memperhatikan cara mereka "berbicara", karena menurut gue, cukup berbeda.
Gue dulu tertarik beli The Thirteenth Tale atau yang diterjemahkan menjadi Dongeng Ketiga Belas karena covernya yang unik. Gue juga menganggap ini awalnya fantasy karena ada unsur dongeng dan bahkan vibe covernya sendiri mirip The Book of Lost Things yang juga diterjemahkan dalam jangka waktu yang berdekatan (bahkan edisi aslinya pun terbit hampir berbarengan!). Tapi dugaan gue salah. Buku ini bukan fantasy, bahkan bukan dongeng biasa. Dongeng Ketiga Belas adalah kisah tentang kehilangan tak terperi, rasa duka yang begitu tajam, rasa bersalah yang mengakar dalam, hantu yang kerap membayangi dan tragedi yang kelam. Tidak berlebihan rasanya kalau menganggap vibes buku ini kelam, tapi anehnya, gue justru menikmati lembar - lembar di dalamnya.
"Ceritakan padaku yang sesungguhnya"
Dengan premise yang sederhana itulah cerita Dongeng Ketiga Belas dimulai saat Margaret Lea, seorang penulis biografi amatir diundang Vida Winter untuk mendengarkan kisah si penulis dengan masa lalu misterius. Vida memang pendongeng handal, saking handalnya semua jurnalis yang meliputnya dikibuli habis - habisan dengan kisah hidupnya yang dibalut dongeng. Tapi kenapa Vida sekarang mau membuka diri pada Margaret yang notabene bukan siapa - siapa? Ternyata ada alasannya, karena Vida merasa kondisi Margaret mirip dengannnya. Dan bergulirlah kisah keluarga Angelfield, sebuah keluarga disfungsional yang hidup di desa (atau kota kecil?) di Inggris, dengan fokus cerita pada si kembar bernama Adeline dan Emmeline.
Menurut gue, Diane Setterfield sendiri sangat ahli dalam menuliskan penuturan Vida atas kisah hidup keluarga Angelfield. Sebelum wawancara dimulai, Vida sudah meletakkan aturan dan batasan - batasan. Ada awal, tengah dan akhir, tidak ada lompatan dalam cerita -yang berarti cerita dituturkan dalam alur linear tanpa interupsi-, dan tidak ada pertanyaan - pertanyaan. Dengan ini saja pembaca seakan diperingatkan "jangan baca bagian akhirnya dulu supaya kamu ga kena spoiler! Supaya misteri dan teka tekinya terjaga". Lalu memang demikian adanya kisah di buku ini bergulir, runut dari awal sampai akhir. Mengandung awal, tengah dan akhir, sebab dan akibatnya pun jelas. Meski begitu, walau cerita Vida dituturkan dengan alur yang jelas, penulisnya juga mencampurkan cerita Vida dengan cerita Margaret ditambah pertanyaan - pertanyaan yang menghantui benak Margaret. Kebenaran apa yang terkandung dalam cerita Vida? Dari sini juga kita dituntut untuk cukup jeli, karena Vida menceritakan cerita keluarga Angelfield awalnya dari sudut pandang orang ketiga serba tahu, laiknya seorang pengamat sebelum akhirnya terselip (entah sengaja atau tidak) dan menggunakan kata ganti orang "kami" dan lalu jadi "aku" . Sementara untuk narasi dari Margaret sendiri sudah jelas, selalu memakai kata ganti "aku". Untuk membedakan narasi dari pihak Margaret atau Vida sendiri tidak terlalu susah, cukup dengan memperhatikan cara mereka "berbicara", karena menurut gue, cukup berbeda.
"Hidup ini begitu penting bagi kita, sehingga kita berpikir kisahnya dimulai pada saat kita lahir. Mulanya tak ada apa-apa, kemudian aku lahir... Namun tidak begitu adanya. Hidup manusia bukan seutas benang yang dapat dipisahkan dari ikatan lain dan diletakkan lurus. Keluarga adalah jaring. Tidak mungkin menyentuh salah satu bagiannya tanpa menggetarkan semuanya. Tidak mungkin memahami satu bagian tanpa memahami seluruh bagiannya."
Setterfield seakan menulis buku ini sebagai homage untuk novel - novel gothic, terutama Jane Eyre yang selalu dibahas di buku ini. Margaret sangat menyukai buku Jane Eyre dan begitu juga Vida Winter. Meski gue akuin, gue belum pernah baca Jane Eyre tapi jadi cukup tertarik juga untuk membacanya. Selain Jane Eyre, ada juga membahas buku Wuthering Heights dan The Woman in White. Vibes gothic buku ini emang sangat terasa. Unsur - unsurnya semuanya ada, mulai dari rumah besar yang tidak terawat, obsesi paman si kembar, Charlie kepada adiknya, ibu si kembar yang bernama Isabelle yang mendekati incest, si kembar Adeline dan Emmeline yang aneh dan ga bisa diatur, atmosfir yang kelam, dan bahkan ada kebakaran besar. Gue lebih menyukai Dongeng Ketiga Belas ini daripada katakanlah, We Have Always Lived in the Castle karya Shirley Jackson ataupun The Historian karya Elizabeth Kostova, dimana dua novel yang gue sebut itu juga bernuansa gothic. Setterfield lebih pas dalam menuliskan kondisi si kembar Angelfield bersama dengan pembantu rumah tangga mereka, Missus, dan tukang kebun, John-the-Dig; yang menolak orang luar ketimbang agoraphobianya Merricat dan Constance di We Have Always Lived in the Castle. Bahkan untuk buku dengan tema "cerita dalam cerita", Dongeng Ketiga Belas lebih bisa gue nikmati daripada The Historian yang terasa sangat pretensius. Buku ini juga lebih baik daripada The Book of Lost Things yang sama - sama tentang dongeng, tapi itu mungkin karena gue ga terlalu suka konten gore dan horror di Book of Lost Things, walau Dongeng Ketiga Belas sendiri juga sama horrornya tapi horrornya sih lain dan enggak, buku ini ga ada element supernaturalnya meski tetep bikin merinding juga karena sosok "hantu" yang memang beneran ada atau cuma figmen imajinasi tokoh - tokohnya.
Misterinya sendiri menurut gue cukup solid dan jika jeli memang ada semacam lubang-lubang dalam cerita Vida, yang membuat gue berpikir apakah Vida masih tetap berbohong kepada Margaret saat bercerita. Pace ceritanya juga sangat lambat tapi memang buku ini tidak untuk dibaca terburu - buru. Bahkan vibesnya juga dingin karena salju yang turun di penghujung cerita dan bahkan ada adegan Margaret jalan - jalan di waktu hujan karena teringat saudara kembarnya sampai si Margaret jadi sakit. Menariknya, tidak jelas juga setting cerita saat keluarga Angelfield masih hidup. Apakah setelah perang? Tapi bahkan tidak ada jejak - jejak perang, padahal gue yakin ceritanya sendiri kemungkinan saat awal abad 20 dan mendekati masa Perang Dunia I, tapi buku ini ditulis seakan kejadiannya masih di era Victoria aka abad 19. Misteri yang terungkap menjelang akhir cerita menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Angelfield dan kenapa Vida mengganti namanya tapi gue masih bertanya - tanya
Dongeng Ketiga Belas adalah kisah tentang rasa duka yang mendalam serta perasaan ingin menjadi bagian keluarga yang utuh, dan itu tidak cuma dari Vida tapi juga dari Margaret yang kehilangan saudara kembarnya saat mereka masih bayi sehingga Margaret selalu merasa "tidak utuh". Tapi dengan segala kesuraman,tragedi dan keputus asaan, akhirnya ada sedikit titik terang di akhir cerita. Gue akuin gue ingin menangis dan bahkan merasakan kesedihan serta agak merasa hampa saat mengetahui kebenaran dari cerita Vida serta penerimaan Margaret akan "hantu"nya. Gue merasa untuk keluarga Angelfield seandainya jika kejadian yang menimpa keluarga ini berlaku sebaliknya, mungkin ceritanya akan lain, tapi akhirnya ya disitulah menariknya buku ini. Buku yang suram tapi juga menawarkan harapan pada akhirnya. Selain homage Setterfield untuk novel - novel gothic (utamanya Jane Eyre), buku ini juga menunjukkan kecintaan akan buku yang gue amini, karena di saat kondisi kita sedang serendah -rendahnya, buku - buku memang bisa jadi penyelamat. Sedangkan untuk kisah anak kembar di buku ini, gue merasa Setterfield melakukan riset yang cukup untuk anak kembar; karena gue juga jadi teringat keponakan gue yang anak kembar. Dimana keponakan gue saat masih bayi memang ada speech delay, tapi habis baca buku ini gue tersadar karena mereka berdua, mereka berkomunikasi dengan cara mereka sendiri atau yang dibilang "bahasa anak kembar" di buku ini. Sama juga seperti yang dilakukan Adeline dan Emmeline.
Apakah endingnya bahagia? Menurut gue endingnya cukup bisa diterima dan "kebahagiaan" yang akhirnya dialami baik Margaret ataupun Vida mungkin memang pas untuk mereka berdua. Apalagi "eureka moment" nya Margaret saat akhirnya dia paham apa yang diceritakan Vida itu menurut gue jadi salah satu highlight karena itu adalah titik putar dimana "misteri tidak lagi jadi misteri dan teka - teki menjelaskan dirinya sendiri". Buku ini menurut gue bisa jadi bahan diskusi yang baik, karena banyaknya tema - tema yang dibahas, termasuk juga apakah penelitian yang dilakukan si guru privat, Hester Barrow dan dokter keluarga, Dr Maudsley terhadap si kembar itu etis untuk dilakukan. Karena review ini juga udah sangat kepanjangan dan gue khawatir spoilernya pun lumayan, gue sangat merekomendasikan The Thirteenth Tale kalau kamu nyari novel dengan vibes gothic, misteri serta suspense yang cukup bikin penasaran dan rahasia keluarga yang terpendam dalam - dalam.
"Semua anak memitoskan kelahirannya sendiri. Itu karakteristik umum. Kau ingin mengenal seseorang? Hati, pikiran, dan jiwanya? Tanyakan padanya tentang saat dia lahir. Yang akan kaudapatkan bukanlah kebenaran: kau akan mendapatkan sebuah dongeng. Dan tak ada hal yang lebih menggugah selain dongeng"
Graphic: Death, Mental illness, Physical abuse, Blood, Grief, Death of parent, Fire/Fire injury, and Abandonment
Moderate: Confinement, Infidelity, Terminal illness, Excrement, Vomit, Medical content, Dementia, and Pregnancy
Minor: Rape, Sexual content, and Forced institutionalization